Laporan Achmad Firdaus Gassing, Tribunners di Rusia
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Tujuh tahun telah berlalu sejak Rusia menginvasi dan menganeksasi Krimea.
Dalam rentang waktu beberapa minggu, setelah kemunculan "Little Green Men" (tentara Federasi Rusia dengan seragam hijau tanpa tanda) Rusia merubah keadaan menjadi referendum ‘Fully Integrated’ tentang status Krimea.
Dengan cara ini, Rusia berusaha melegitimasi agresi militernya dan mencoba mencaplok Republik Otonomi Krimea dan kota Sevastopol.
Baca juga: Nasib Demokrasi Rusia Setelah Alexei Navalny Dipenjara
Pada 18 Maret 2014, Presiden Rusia Vladimir Putin dan perdana menteri Krimea Sergei Aksenov yang memproklamirkan diri menandatangani perjanjian ilegal yang menyatakan Krimea sebagai wilayah Rusia, yang melanggar total konstitusi Ukraina dan prinsip-prinsip dasar hukum internasional.
Tujuh tahun setelah upaya aneksasi, dapat melihat dampak jangka panjang dari agresi Rusia di semenanjung krimea: kekurangan air, pelanggaran hak asasi manusia, militerisasi, dan perubahan drastis pada demografi Krimea.
Baca juga: Bulgaria Usir 2 Diplomat Rusia karena Diduga Terlibat Spionase
Sementara kebijakan Ukraina dan komunitas internasional untuk tidak mengakui tetap kuat, masalah Krimea telah memudar dari pusat perhatian internasional di tengah tantangan lain saat ini, khususnya saat pandemi COVID-19 menyerang dunia.
Sejak tentara Rusia menduduki Semanjung Krimea, penduduk Krimea menghadapi tantangan serius, khususnya kekurangan air dan pemadaman listrik.
Sementara Ukraina menyediakan sekitar 80% listrik untuk Krimea, setelah aneksasi illegal rumah-rumah di pulau itu dibiarkan tanpa listrik selama berjam-jam bahkan berhari-hari.
Baca juga: Putin Tepis Kritik Uni Eropa terhadap Vaksin Virus Corona Sputnik V Rusia
Masalah kekurangan air bahkan lebih kritis; Populasi Krimea kian meningkat dan sumber daya yang ada tidak dapat memenuhi permintaan.
Menurut Institut Ukraina Alim Aliev, penyebab utama pasokan air Krimea berasal dari militerisasi Rusia di Semenanjung Krimea yang sedang berlangsung.
Dia pun menjelaskan bahwa militer Rusia mengambil banyak air untuk pasukan militernya, pangkalannya, dan proyek industrinya, karena mereka telah mengubah tempat itu dari resor menjadi zona militer sejak 2014. Menurut jurnalis independen Natalya Gumenyuk,
"Banyak orang telah dibawa dari Rusia untuk tinggal di Krimea. berbicara tentang ratusan ribu orang. Dan ini adalah wilayah kecil, jadi ada beban besar pada infrastruktur kota seperti Sevastopol dan Simferopol, yang menimbulkan beban bagi pasokan air karena alasan ini."
Baca juga: Tarik Dubesnya, Rusia Geram AS Sebut Putin Sebagai Pembunuh?
Natalya Gumenyuk adalah salah satu dari sedikit jurnalis Ukraina yang telah mengunjungi Krimea beberapa kali sejak dimulainya aneksasi. Laporan Natalia telah disusun menjadi sebuah buku tentang pendudukan semenanjung yang disebut ‘Lost Island’.
Adapun, situasi Hak Asasi Manusia di Krimea terus memburuk. Lebih dari 100 warga Ukraina telah ditahan secara ilegal di penjara Rusia.
Pada 14 Januari 2020, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan untuk menerima klaim kasus Ukraina terhadap Rusia.
Kasus-kasus yang diajukan menyangkut pelanggaran yang di lakukan oleh Rusia terhadap hak asasi manusia, khususnya: hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas peradilan yang adil, hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama, kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul dan berserikat.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mendukung resolusi terbaru tentang situasi hak asasi manusia di Krimea dan Sevastopol.
Resolusi ini menunjukkan peningkatan jumlah pelanggaran hak asasi manusia di Krimea yang dianeksasi di tengah pandemi COVID-19.
Dalam konteks ini, Majelis menyatakan keprihatinannya tentang bertambahnya kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh penduduk Krimea sebagai akibat dari langkah-langkah aneksasi.