TRIBUNNEWS.COM - Korban kekerasan rezim militer atau junta Myanmar terhadap warga sipil atau demonstran antikudeta terus bertambah.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) telah mengonfirmasi total 510 kematian warga sipil sejak penggulingan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.
Akan tetapi kemungkinan besar jumlah kematian sebenarnya jauh lebih tinggi dari angka tersebut.
Unjuk rasa harian di seluruh Myanmar yang dilakukan demonstran tak bersenjata telah disambut dengan gas air mata, peluru karet hingga peluru tajam oleh pasukan keamanan.
Sehingga menyebabkan banyaknya demonstran terluka bahkan tewas.
Baca juga: Pengunjuk Rasa Anti-Kudeta Myanmar & Pelayat Turun ke Jalan di Tengah Laporan Pembunuhan di Yangon
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan, kekerasan terhadap warga sipil yang cukup tinggi benar-benar tidak dapat diterima.
Untuk itu, pihaknya mendesak junta segera melakukan transisi demokrasi yang serius.
PBB saat ini membutuhkan lebih banyak persatuan dan komitmen dari komunitas internasional untuk turut memberi tekanan pada junta.
"Benar-benar tidak dapat diterima melihat kekerasan terhadap orang-orang pada tingkat yang begitu tinggi, begitu banyak orang terbunuh," kata Guterres dikutip dari Channel News Asia.
"Kami membutuhkan lebih banyak persatuan dan lebih banyak komitmen dari komunitas internasional untuk memberikan tekanan guna memastikan bahwa situasinya terbalik," sambungnya.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden melalui Perwakilan Dagang Katherine Tai mengatakan, pihaknya mengutuk keras tindak kekerasan pasukan keamanan Myanmar.
Katherine Tai kemudian mengumumkan bahwa Perjanjian Kerangka Perdagangan dan Investasi (TIFA) 2013 antara Amerika Serikat dengan Myanmar per Senin (29/3/2021) akan ditangguhkan.
Adapun perjanjian ekonomi itu akan berlaku kembali setelah junta memulihkan demokrasi di Myanmar.
"Amerika Serikat mengutuk keras kekerasan brutal pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil," kata Katherine Tai, menggunakan nama lama Myanmar, Burma.