Satu orang juga tewas di kota pertambangan giok utara Hpakant, Grup Berita Kachin melaporkan.
Reuters tidak dapat memverifikasi laporan tersebut, dan juru bicara junta juga enggan menjawab panggilan saat dimintai komentar.
Namun, pada April 2021 lalu, militer mengakui bahwa 248 demonstran telah terbunuh oleh pasukannya, dan mengatakan mereka dibunuh setelah memulai kekerasan terlebih dahulu.
Lain halnya dengan pengakuan pihak junta, Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 759 pengunjuk rasa sejak kudeta.
Tak hanya itu, akibat krisis yang melanda Myanmar, menurut prakiraan PBB, ribuan warga sipil telah mengungsi.
Program Pembangunan PBB memperingatkan, protes dan kampanye pembangkangan sipil telah melumpuhkan ekonomi dan meningkatkan kemungkinan 25 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan.
Revolusi Musim Semi Myanmar
Aksi protes di sejumlah wilayah di Myanmar dilaporkan telah berkurang, karena beberapa aktivis ditahan oleh pasukan keamanan.
Baca juga: Militer dan Milisi Berperang, Ribuan Penduduk Myanmar Melarikan Diri ke Thailand
Namun demikian, demonstran antikudeta masih mendapatkan dukungan dari komunitas antikudeta Myanmar di seluruh dunia.
Pihak penyelenggara komunitas antikudeta Myanmar menggemakan 'Revolusi Musim Semi Myanmar' pada Minggu (2/5/2021)
"Guncang dunia dengan suara persatuan rakyat Myanmar," kata penyelenggara dalam sebuah pernyataan.
Arus demonstran di Myanmar, beberapa dipimpin oleh biksu Buddha yang berjalan melalui kota-kota di seluruh negeri, termasuk di Yangon dan Mandalay.
Upaya perlawanan juga terjadi di daerah perbatasan terpencil di utara dan timur.
Perang dengan pemberontak etnis minoritas telah meningkat secara signifikan sejak penggulingan Aung San Suu Kyi.
Berita lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)