Abedrabbo mengatakan, keluarganya dan keluarga saudara laki-lakinya berjalan kaki sekitar 8 kilometer sebelum mencapai sekolah UNRWA untuk pengungsi di Palestina, di seberang Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza.
“Anak-anak kami tidur di lantai kosong,” katanya.
"Kami tidak membawa apa-apa, dan kami tidak tahu apakah rumah kami masih berdiri," imbuh pria 40 tahun tersebut.
Lusinan keluarga dari kota-kota utara Gaza juga mengungsi.
Di gedung bernama Abraj al-Nada, para keluarga tidak dapat pergi karena kebakaran hebat dan meminta bantuan Palang Merah.
"Ini adalah perang terburuk yang pernah saya alami dalam hidup saya, dan saya telah melihat beberapa di antaranya. Itu benar-benar kejam," ujar Abedrabbo.
Unggahan Perpisahan
Eskalasi menjelang fajar di Jalur Gaza mengakibatkan banyak warga mengunggah 'perpisahan' mereka di media sosial.
Satu di antaranya adalah Diaa Wadi, seorang penduduk Shujaiyah.
"Halo dunia. Saya dan keluarga saya berada di bawah target pemboman artileri dan pesawat tempur pendudukan Israel.
Kami telah membagikan diri kami di sudut berbeda di ruangan yang sama.
Masing-masing dari kami memegang tas, dengan kertas-kertas dan beberapa barang milik kami, saling memandang.
Sekarang kami merasa takut. Ini adalah momen tersulit dan terberat sepanjang hidupku!" tulis Diaa.
Baca juga: Presiden AS Condong Dukung Israel, Politikus Demokrat Sindir Biden Tak Peduli Korban Palestina
Dua jam kemudian, setelah serangan mereda, Diaa Wadi berharap dirinya bisa melihat matahari di pagi hari.