TRIBUNNEWS.COM, YANGON — Aye Mar duduk bersama ketujuh anaknya di dapur rumahnya di Yangon. Ia khawatir apakah akan mampu membeli makanan untuk menghilangan rasa lapar mereka di tengah Myanmar yang dilanda kudeta.
"Kita harus memberi makan anak-anak kita agar mereka tidak kelaparan," kata Aye Mar, duduk tanpa alas kaki di ibukota komersial.
Seorang anaknya yang masih bayi berayun di tempat tidur gantung.
Ekonomi nasional dan sistem perbankan telah lumpuh sejak perebutan kekuasaan oleh militer yang mengkudeta pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari lalu.
Mata pencaharian telah hilang setelah aksi pemogokan kerja dan penutupan pabrik, harga bahan bakar telah naik dan mereka yang cukup beruntung memiliki tabungan bank menghadapi antrian panjang setiap hari untuk menarik uang tunai mereka.
Berpetualang di depan umum untuk mencari nafkah juga telah membahayakan keselamatan mengingat kondisi tindakan kekerasan dan brutal atas perbedaan pendapat yang telah memakan korban lebih dari 800 warga sipil, menurut kelompok pemantau lokal.
Di negara yang dalam waktu normal mengekspor beras, kacang dan buah, kini jutaan rakyatnya akan kelaparan dalam beberapa bulan mendatang, Program Pangan Dunia (WFP) telah memperingatkan, seperti dilansir AFP dan Channel News Asia, Jumat (28/5/2021).
Perempuan berusia 33 tahun itu tidak bekerja. Suaminya terpaksa mengambil pekerjaan aneh yang ditawarkan - termasuk menggali septic tank.
Penjual makanan Wah Wah, 37, mengatakan kenaikan harga karena kudeta berarti pelanggan tidak mampu lagi membeli sesuatu yang sederhana seperti semangkuk ikan kering.
"Saya tidak bisa menjualnya karena pelanggan tidak mampu membelinya ... bahkan jika saya menjualnya pada 500 kyat (US$ 0,33) per mangkuk," katanya kepada AFP.
Baca juga: UE Kecam Rencana Komisi Pemilihan yang Ditunjuk Junta Myanmar untuk Bubarkan Partai Aung San Suu Kyi
"Setiap orang harus mengeluarkan uangnya secara hemat agar aman karena tidak ada yang memiliki pekerjaan. Kami hidup dengan ketakutan karena kami tidak tahu apa yang akan terjadi."
"KAMI BERADA DALAM KESULITAN"
Win Naing Tun, 26, ayah dari tiga anak mengatakan mereka yang sebelumnya mampu makan daging secara teratur terpaksa beralih ke pasta ikan dan sayuran.
Dan mereka yang bertahan hidup dengan diet terbatas itu sebelum "sekarang hanya mampu makan nasi putih dengan garam," katanya kepada AFP.
Kenaikan harga telah menghantam daerah terpencil, terutama di dekat perbatasan China di negara bagian Kachin, beras hampir 50 persen lebih mahal, menurut WFP.
Biaya pengangkutan hasil bumi dari peternakan ke kota-kota juga melonjak setelah diperkirakan kenaikan harga bahan bakar 30 persen sejak kudeta.
WFP memperkirakan bahwa dalam enam bulan ke depan, sebanyak 3,4 juta lebih orang akan kelaparan di Myanmar dan pihaknya bersiap untuk tiga kali lipat bantuan makanan darurat.
Program donasi makanan masyarakat akar rumput terbukti sangat diminati di Yangon, ibukota komersial Myanmar.
"Mereka senang ketika kami menyumbangkan makanan. Beberapa bahkan menangis," kata relawan May, bukan nama sebenarnya, kepada AFP.
Ni Aye, 51 tahun, mengatakan dia dan suaminya sekarang tidak memiliki penghasilan sama sekali.
"Kami berada dalam kesulitan ... Jika kondisi ini terus berlanjut kami akan kelaparan," katanya kepada AFP.
Aung Kyaw Moe, 47 tahun, sedang mempertimbangkan untuk kembali ke desa asalnya setelah pabrik Yangon, tempat dia bekerja sudah ditutup.
Dia mengatakan kepada AFP, dirinya tidak punya uang dan putus asa tentang bagaimana menghidupi keluarganya yang berjumlah sembilan orang.
"Semuanya di luar kendali kami," katanya kepada AFP. (AFP/Channel News Asia)