TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah paralel Myanmar mendesak warga Rohingya bergabung melawan kudeta yang dilakukan junta militer.
Bahkan pemerintah paralel ini menjanjikan keadilan dan kewarganegaraan kepada warga minoritas itu.
Dilansir The Guardian, pernyataan ini disambut baik sejumlah pakar HAM yang memperjuangkan keadilan bagi Rohingya.
Diketahui warga etnis minoritas Rohingya menghadapi diskriminasi dan kekerasan selama puluhan tahun di Myanmar.
Rohingya dipandang pemerintah Myanmar sebagai orang asing hingga kewarganegaraannya tidak diakui negara ini.
Pemerintahan Aung San Suu Kyi dengan partainya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) adalah salah satu yang tidak mengakui warga Rohingya.
Bahkan pemerintahan Suu Kyi menghindari penggunaan istilah Rohingya.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Diam-diam Pindahkan Aung San Suu Kyi Ke Lokasi Tidak Diketahui
Baca juga: Utusan ASEAN Tiba di Myanmar: Akan Bertemu Junta Militer Bahas Penyelesaian Konflik Kekerasan
Pihaknya lebih memilih untuk menyebut etnis minoritas ini sebagai 'Muslim di negara bagian Rakhine'.
Pada 2019 silam, Aung San Suu Kyi melakukan perjalanan ke Den Haag untuk membela militer terhadap tuduhan genosida Rohingya.
Tindakan Suu Kyi mengejutkan pengamat internasional kala itu.
Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) yang mencakup partai Suu Kyi, NLD menandakan perubahan sikap pada Rohingya.
"Seluruh rakyat Burma bersimpati pada penderitaan Rohingya karena semua sekarang mengalami kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh militer," kata pihak pemerintah pada Kamis (3/6/2021).
"Solidaritas seluruh rakyat sekarang dalam kondisi terbaiknya."
"Kami yakin bahwa kami dapat membangun serikat pekerja yang memenuhi kebutuhan semua orang di negara ini yang memiliki kepentingan di masa depan," lanjutnya.