Itu terjadi tepat ketika protes "rompi kuning" anti-pemerintah mengumpulkan momentum untuk mengecam kebijakan pemerintah dan Macron secara pribadi karena gaya kepemimpinannya, yang dikritik sebagai penyendiri dan arogan.
Baca juga: Massa Aksi Kecam Macron dan Minta Usir Dubes Prancis
Pada Juli tahun lalu, Macron dan istrinya Brigitte dilecehkan secara verbal oleh sekelompok pengunjuk rasa saat berjalan-jalan dadakan melalui taman Tuileries di pusat kota Paris pada Hari Bastille.
Diinterogasi
Kantor kejaksaan setempat menyatakan, dua pria berusia 28 tahun yang tinggal di wilayah itu sedang diinterogasi. “Tetapi pada tahap interogasi ini, motif mereka masih belum diketahui,” katanya.
Serangan di Desa Tain-l'Hermitage di wilayah Drome memicu kemarahan di seluruh spektrum politik dan menimbulkan pertanyaan atas tur mengunjungi masyarakat yang oleh Macron disebut sebagai safari untuk mendengarkan dan mengetahui situasi di masyarakat.
"Politik tidak akan pernah bisa menjadi kekerasan, agresi verbal, apalagi agresi fisik," ujar Perdana Menteri Jean Castex kepada parlemen. Ia menambahkan, “melalui presiden, demokrasilah yang menjadi sasaran".
Macron diperkirakan akan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua dalam pemilihan presiden tahun depan.
Baca juga: Buntut Pernyataan Macron soal Islam, Umat Muslim di Seluruh Dunia Lakukan Protes Anti Prancis
Jajak pendapat menunjukkan dia unggul tipis atas pemimpin sayap kanan Marine Le Pen.
Tur nasional terbarunya mencakup sekitar selusin perhentian selama dua bulan ke depan.
Mantan bankir investasi itu ingin bertemu dengan para pemilih secara langsung setelah lebih dari satu tahun manajemen krisis selama pandemi Covid-19.
Tapi inisiatif temu-dan-sapa sebelumnya telah menunjukkan upaya reformis disalahgunakan secara verbal. (Tribunnews.com/BBC/ChannelNewsAsia/Hasanah Samhudi)