Sedangkan tenaga kerja lokal memiliki banyak renumerasi lainnya seperti voucher makan dan tunjangan tambahan, katanya.
"Kami bahagia. Sebelumnya kami merasa hukum Malaysia memihak sebelah, tetapi sekarang kami merasa adil," tambahnya.
Perusahaan Sarung Tangan Karet Malaysia Top Glove Juga Dituding Melakukan Kerja Paksa
Pembuat sarung tangan karet Malaysia, Top Glove, juga mendapat sorotan atas tuduhan "kerja paksa."
Bahkan tahun lalu, Amerika Serikat telah melarang impor produk dari Top Glove Malaysia, karena masalah ketenagakerjaan para buruhnya.
Diberitakan Tribunnews Juli 2020, Investigasi Channel 4 News mengungkapkan kondisi para pekerja migran yang mengejutkan di pabrik-pabrik Top Glove Malaysia.
Para buruh dipaksa untuk memenuhi target produksi yang intens untuk menghasilkan banyak produk Alat Pelindung Diri (APD) yang permintaannya meningkat selama pandemi Covid-19.
Menurut Channel 4 News, pekerja Top Glove diduga bekerja 12 jam, enam hari seminggu dan dibayar kurang dari RM6 (Rp21 ribu) per jam.
Jika mereka bekerja lembur, mereka hanya dibayar RM8 (Rp27 ribu) per jam.
Setelah diselidiki lebih lanjut, diketahui slip gaji beberapa pekerja mencatat hingga 111 jam lembur.
Jam kerja tersebut melanggar batas maksimum lembur yang diizinkan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan Malaysia.
US Customs and Border Protection mengatakan mereka memutuskan untuk memberlakukan larangan Top Glove "berdasarkan bukti yang mengarah pada kerja paksa dalam proses pembuatannya", menurut laporan dari Yahoo News.
Dalam video Channel 4 News Investigation, para pekerja migran itu juga mengalami kondisi yang sepenuhnya mengesampingkan aturan social distancing.
Asrama dihuni hingga 24 pekerja dalam satu ruangan.