Namun mereka tetap maju menghadapi militer yang telah mengumpulkan lebih dari 3 miliar dolar senjata dan memiliki pengalaman 70 tahun menindak penduduk sipil.
"Kami telah melakukan protes nasional dan meluncurkan gerakan pembangkangan sipil terhadap militer dengan harapan memulihkan demokrasi sipil, tetapi metode itu saja tidak berhasil," kata Neino, mantan dosen universitas yang sekarang memimpin cabang politik perlawanan sipil di Negara Bagian Chin dan wilayah tetangga Sagaing.
"Kami telah melakukan semua yang kami bisa, dan mengangkat senjata adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk memenangkan ini," tambahnya.
Salai Vakok, seorang pekerja pembangunan masyarakat berusia 23 tahun yang berubah menjadi pejuang perlawanan, juga di Negara Bagian Chin, mulai mengumpulkan senapan berburu di kota asalnya Mindat tak lama setelah Tatmadaw mulai menembaki pengunjuk rasa pada pertengahan Februari 2021.
Salai Vakok mengaku, pihaknya sempat berharap orang-orang dariluar negeri akan berjuang dengan mereka.
"Dulu kami berharap orang-orang dari luar negeri akan berjuang untuk kami, tetapi itu tidak pernah terjadi."
"Saya tidak pernah dalam hidup saya berpikir saya akan memegang senjata tetapi saya dengan cepat berubah pikiran setelah mengetahui tentang pembunuhan warga sipil tak bersenjata yang tidak bersalah di seluruh negeri dan terutama di daerah dataran rendah," kata Salai Vakok.
Dikatakan Salai Vakok, dia tak bisa tinggal diam melihat warga sipil meninggal karena aksi kekerasan yang dilakukan militer.
Baca juga: Kekerasan Myanmar Naik, PBB: Demokrasi Rapuh Berubah Jadi Bencana HAM, Warga Jadi Perisai Manusia
Untuk itu, dia bertekad menunjukkan solidaritasnya dengan para pahlawan yang gugur, dengan mengangkat senjata.
"Aku tidak bisa tinggal diam. Untuk membalas para pahlawan yang gugur dan menunjukkan solidaritas saya, saya memutuskan untuk mengangkat senjata," kata Salai Vakok.
Taktik Gerliya
Perlawanan di perkotaan tampak mulai meluas, sebagian besar sebagai akibat dari para pemuda yang telah bersatu dalam jaringan bawah tanah setelah menghadiri kamp pelatihan singkat dengan kelompok etnis bersenjata di hutan.
Sekembalinya ke kota, mereka mengadopsi taktik gerilya termasuk pemboman, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan, termasuk orang-orang yang dicurigai sebagai informan atau orang-orang yang bersekutu dengan militer.
"Tatmadaw menindas kami dengan senjata. Haruskah kita berlutut atau haruskah kita melawan? Jika kami menolak hanya dengan memberi hormat tiga jari, kami tidak akan pernah mendapatkan apa yang kami inginkan," kata Gue Gue, seorang dokter medis berusia 29 tahun dan anggota perlawanan bawah tanah di Yangon.