Sebagai tanggapan, Teheran melanjutkan beberapa kegiatan nuklir.
Pada April lalu, negara Syiah ini mengumumkan niatnya untuk memperkaya uranium hingga kemurnian 60%, mendekati tingkat pengayaan 90% yang dianggap sebagai tingkat senjata.
Kendati demikian Iran berkali-kali menyangkal tuduhan tengah membuat senjata nuklir.
Raisi juga mengatakan dia berharap bisa memulihkan kembali hubungan dengan musuh regional Iran, yakni Arab Saudi.
Riyadh dan Teheran memutuskan hubungan pada 2016 setelah Arab Saudi mengeksekusi seorang ulama Syiah terkemuka, Nimr al-Nimr.
Beberapa jam kemudian, massa Iran menyerbu kedutaan Saudi di Teheran dan membakarnya.
Raisi adalah pemimpin Iran terpilih pertama yang berada di bawah sanksi AS.
Baca juga: Sosok Ebrahim Raisi, Presiden Baru Iran, Dipandang Israel sebagai Ekstremis
Baca juga: Israel Peringatkan Dunia Soal Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi: Dia Penjagal Teheran
Raisi sebagai anggota pengadilan tinggi Iran, menurut catatan PBB menyetujui eksekusi kepada 9 anak pada 2018 dan 2019.
Berbagai kelompok HAM juga melaporkan bahwa Raisi terlibat dalam eksekusi massal kepada 5.000 tahanan politik.
Raisi tidak pernah berkomentar terkait laporan ini, namun saat ditanya soal eksekusi, dia justru memuji rekam jejaknya sebagai jaksa dan hakim.
"Saya selalu membela hak-hak rakyat. Hak asasi manusia telah menjadi basis paling mendasar di mana saya bekerja," katanya.
Amnesty International pada Sabtu, menuntut agar Ebrahim Raisi diselidiki atas tuduhan kejahatan kemanusiaan terkait eksekusi massal.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)