Reuters tidak dapat menentukan seberapa luas teknologi pengawasan telah dipasang dan digunakan, tetapi empat sumber mengatakan Telenor ASA Norwegia dan QPSC Ooredoo Qatar belum sepenuhnya mematuhi.
Di antara tindakan pertama militer pada 1 Februari 2021 adalah memutus akses Internet dan masih belum sepenuhnya dibangun kembali, dengan telekomunikasi diberikan daftar situs web dan nomor telepon aktivis untuk diblokir.
Langkah tersebut membuat masa depan tidak jelas bagi sektor telekomunikasi Myanmar, yang telah menjadi salah satu yang tumbuh paling cepat secara global.
Telenor mengatakan pada hari Jumat bahwa pihaknya sedang mengevaluasi masa depan operasinya di negara itu, dengan sebuah sumber mengatakan kepada Reuters bahwa pihaknya sedang mengincar penjualan unit Myanmar.
Lebih lanjut, terkait perintah penerapan teknologi spywaer, juru bicara junta tidak memberikan jawaban saat dimintai komentar.
Junta tidak pernah mengomentari upaya pengawasan elektronik, tetapi mengumumkan segera setelah merebut kekuasaan tujuannya untuk meloloskan RUU keamanan siber.
RUU keamanan siber yang diloloskan akan mengharuskan perusahaan telekomunikasi untuk memberikan data saat diminta dan menghapus atau memblokir konten apa pun yang dianggap mengganggu persatuan, stabilisasi, dan perdamaian.
Hal itu juga mengubah undang-undang privasi untuk membebaskan pasukan keamanan dalam mengintai komunikasi di Myanmar.
Baca juga: Demonstran Rayakan Ulang Tahun Pemimpin Kudeta dengan Ritual Pemakaman: Ingin Dia Segera Meninggal
Baca juga: Aung San Suu Kyi Berpesan Agar Warga Myanmar Lebih Berhati-hati Terhadap Covid-19
Berita lain seputar Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)