Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Bisnis pekerja seks di Jepang mencapai sekitar 2,4 miliar USD per tahun di Jepang namun kini menurun secara drastis gara-gara pandemi corona.
"Saya biasanya tiap hari dapat 4 atau lima konsumen sehingga penghasilan lumayanlah tiap hari. Kini Tak ada lagi yang mau datang, mereka mengurung diri di rumah ketakutan Corona," kata Akiko (nama samaran) kepada Tribunnews.com Jumat (30/7/2021).
Akiko khawatir akan kehidupannya saat ini, kehilangan konsumennya yang menghindari kontak dekat, dan dia kehilangan klien dan kehabisan uang.
Tanpa tabungan atau sumber pendapatan lain, Akiko mengatakan bahwa dia hidup dari uang pinjaman.
Dia telah mencoba mencari pekerjaan lain, tetapi tidak ada yang mempekerjakan di tengah krisis ekonomi saat ini.
Pada tingkat ini, dia mungkin tidak dapat membayar sewa atau membeli kebutuhan dasar, apalagi melunasi hutang yang baru saja dia ambil.
"Saya khawatir apakah bisa saya memiliki tempat tinggal atau jika saya dapat menemukan pekerjaan untuk mendapatkan uang untuk hidup, apa bisa?" katanya.
Diakuinya memang khawatir tentang (kesehatannya) tentu saja, "Tetapi sekarang saya lebih khawatir tentang bagaimana bertahan hidup."
Pekerja seks di seluruh Jepang telah terpukul keras oleh penutupan berbagai toko restoran hiburan malam di mana pun dan pembatasan karena pandemi.
Seluruh tempat di jepang berada dalam keadaan darurat, dengan banyak bisnis diperintahkan untuk tutup dan orang-orang disarankan untuk tidak keluar.
Saat ini dah ada 10.742 kasus infeksi per hari di Jepang dan total kematian sudah mencapai 15,184 orang.
Untuk meredakan pukulan ekonomi, pemerintah pusat telah meluncurkan paket stimulus besar-besaran senilai 108 triliun yen Jepang.
Setelah beberapa kontroversi, pekerja seks memenuhi syarat untuk mengajukan bantuan, dalam kondisi tertentu - sebuah langkah yang oleh beberapa aktivis dipuji sebagai tanda kemajuan untuk industri yang telah lama menderita stigma sosial.