TRIBUNNEWS.COM - Eks penasihat Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Shafiq Hamdam, mengecam pelarian diri presiden saat Taliban masuk ibu kota Kabul pada Minggu (15/8/2021).
"Ini memalukan. Masyarakat merasa ditinggalkan, masyarakat merasa dikhianati," kata Hamdam kepada Al Jazeera dari Washington, DC.
"Setelah upaya bertahun-tahun, dia memberi tanda hitam dalam sejarah demokrasi di Afghanistan."
"Dia sendiri melarikan diri dengan timnya dan dia tidak berpikir dua kali tentang jutaan orang yang hidup dalam kesengsaraan, yang hidup dalam ketidakpastian, dan yang sekarang tertinggal, hidup di bawah rezim Taliban," ujarnya.
Baca juga: Taliban: Perang di Afghanistan Telah Berakhir, Kami Sudah Mencapai Tujuan
Baca juga: Sumber Intelijen Sebut China Ikut Bantu Kemenangan Taliban di Afghanistan
Selain itu, Hamdan mengatakan Taliban harus membuktikan upaya perlindungan terhadap perempuan.
"Itulah yang saya inginkan dan itulah yang dunia inginkan."
"Dan itu adalah ujian bagi Taliban. Untuk membuktikan apakah mereka telah berubah atau tidak," katanya.
Dia menyoroti kebebasan pendidikan dan bekerja bagi wanita dan anak perempuan.
Siapa Presiden Ashraf Ghani?
Menurut laporan The Guardian Live pada Senin (16/8/2021), Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, diyakini sedang berada di Uzbekistan.
Sementara itu berdasarkan sumber Wikipedia, presiden ini kabur ke Tajikistan.
Dia meninggalkan Istana Kepresidenan di Kabul pada Minggu (15/8/2021), saat Taliban mulai memasuki ibu kota.
Ghani berdalih ingin menghindari pertumpahan darah.
Reuters melaporkan, presiden berusia 72 tahun itu telah menjadi sosok yang semakin terisolasi yang memiliki hubungan yang tidak nyaman dengan negara Barat.
Baca juga: Kemenangan Taliban di Afghanistan Jadi Berita yang Mendominasi Media Global
Baca juga: Komnas HAM: Penggunaan Stigma Taliban Sebagai Dasar Pemecatan Pegawai KPK Nyata Terjadi