TRIBUNNEWS.COM - Ismail Sabri Yaakob telah dilantik sebagai Perdana Menteri baru Malaysia, Sabtu (21/8/2021), setelah ditunjuk oleh Raja Al-Sultan Abdullah sehari sebelumnya.
Ismail menjadi Perdana Menteri Malaysia ketiga dalam tiga tahun terakhir.
Ia disumpah setelah mendapatkan dukungan 114 anggota parlemen, lebih dari cukup dari sekedar 111 dukungan yang dibutuhkan.
Ismail merupakan penerus dari Muhyiddin Yassin, yang mengundurkan diri setelah 17 bulan menjabat.
Muhyiddin kehilangan dukungan mayoritas di parlemen dikarenakan pertikaian dalam koalisi politik yang berkuasa, CNBC melaporkan.
Baca juga: Ketum PKB Sampaikan Selamat Atas Dilantiknya PM Baru Malaysia Ismail Sabri Yaakob
Baca juga: Ismail Sabri Yaakob Dilantik sebagai Perdana Menteri ke-9 Malaysia
Penunjukan Ismail, yang merupakan wakil perdana menteri di bawah Muhyiddin, pada dasarnya akan menjaga koalisi yang berkuasa tetap utuh.
Tetapi kenaikannya berarti bahwa partai politik yang paling lama berkuasa di negara itu – Organisasi Nasional Malaysia Bersatu atau UMNO – telah merebut kembali jabatan perdana menteri Malaysia setelah kalah di tahun 2018.
UMNO adalah partai dominan dalam koalisi yang memerintah Malaysia selama lebih dari 60 tahun.
UMNO sempat kehilangan kekuasaan dalam pemilihan umum 2018 karena skandal keuangan yang melibatkan dana negara.
Partai tersebut kembali berkuasa pada tahun 2020 setelah pengunduran diri mendadak Perdana Menteri Mahathir Mohamad, yang memungkinkan Muhyiddin untuk membentuk koalisi yang berkuasa saat ini.
Baca juga: Perjalanan Kepemimpinan Muhyiddin Yassin sebagai PM Malaysia sebelum Akhirnya Mengundurkan Diri
Baca juga: Perdana Menteri Baru Malaysia Harus Hadapi Mosi Kepercayaan di Parlemen
Kata Analis
Sebelum penunjukan perdana menteri baru Malaysia, analis politik mengatakan Ismail akan menjadi pilihan yang buruk karena hubungannya dengan pemerintah Muhyiddin.
Pemerintahan Muhyiddin secara luas dikritik karena dianggap gagal menangani wabah Covid-19 yang memburuk di negara itu.
Penunjukan Ismail juga tidak akan mengakhiri ketidakpastian politik yang dihadapi Malaysia sejak pemilu 2018, kata analis.
Situasi politik di Malaysia adalah "resep untuk ketidakstabilan," ujar Peter Mumford, kepala praktik Asia Tenggara dan Asia Selatan pada konsultan risiko Eurasia Group, kepada “Capital Connection” CNBC pada hari Selasa.
Malaysia memiliki banyak partai politik dan tidak ada yang memegang lebih dari 20% kursi parlemen.
Sementara itu, politisi tidak banyak berbeda dalam ideologi ekonomi mereka karena politik sebagian besar didorong oleh ras dan agama, jelas Mumford.
Selain itu, politisi kerap tidak loyal kepada partainya dan "cukup senang" pindah partai, katanya.
"Salah satu jalan keluar utama dari kekacauan politik ini adalah untuk putaran pemilihan umum, dan kemudian setelah itu negosiasi tentang siapa yang bisa menjadi perdana menteri berikutnya."
"Dan jika pemilihan itu menghasilkan partai atau koalisi yang memiliki mayoritas yang jelas, maka akan ada lebih banyak pemerintahan yang stabil," kata Mumford.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)