TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar, Subhan Setowara, mengungkapkan Taliban saat ini menggunakan media sosial untuk mengubah citra.
Dirinya memaparkan Taliban 2.0 yang muncul saat ini lebih lihai dalam memprofilkan diri.
"Taliban 2.0 melakukan rebranding via twitter dan konten media sosial lainnya dengan menunjukkan ciri kekinian," ujar Subhan dalam FGD "Pemuda dan Ekstremisme Beragama" di Sagan Heritage Hotel Yogyakarta, Senin (30/08/2021).
"Setelah memasuki Kabul misalnya, para militan Taliban lantas memosting video dan foto yang menampilkan para pejuang mereka sebagai sosok orang biasa yang mudah didekati," tambah Subhan.
Baca juga: Densus 88 Waspadai Pergerakan WNI Eks Kombatan Taliban yang Pulang ke Indonesia
Dirinya menjelaskan bahwa gerakan ekstrimisme pada hari ini makin kekinian dengan menyasar kaum muda.
Sementara itu, sejarawan Muhammadiyah Mu'arif menjelaskan tentang konsep dasar moderasi dalam beragama dalam perspektif sejarah.
"Fakta-fakta historis menunjukkan bahwa kekerasan dengan mengatasnamakan agama sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi, biasanya dilatarbelakangi oleh politik," tutur Mu'arif.
Mantan napiter alumni Afghanistan, Nasir Abbas menceritakan tentang bagaimana awal mula serta perjalanannya mejadi teroris di berbagai negara.
"Dari umur 15 tahun saya sudah ke Afghanistan dengan niat untuk melanjutkan pendidikan, namun karena tidak memiliki ijazah pada akhirnya saya masuk NII, dan dari situ awal mula saya mengenal dengan gerakan terorisme dan ekstrimisme," ungkap Nasir.
FGD "Pemuda dan Ekstremisme Beragama" digelar oleh Cangkir Opini bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Yogyakarta dan DPD IMM Jawa Timur.
Direktur Eksekutif Cangkir Opini, Zaki Ma'ruf mengungkapkan kegiatan ini dilaksanakan untuk merespon berbagai isu terorisme yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat Indonesia.
"FGD ini bertujuan untuk menumbuhkan kepedulian mahasiswa dan pemuda serta masyarakat pada umumnya terhadap isu terorisme dan ekstrimisme dalam beragama, serta menawarkan cara pandang agama yang moderat (wasathiyah)," kata Zaki.
Sumber Keuangan Taliban
Setelah 20 tahun memerangi pasukan AS dan sekutunya, kelompok militan Taliban kembali menguasai Afghanistan.
AS menarik pasukannya dari Afghanistan hingga tenggat waktu pada Selasa (31/8/2021).
Menurut laporan BBC, Taliban dianggap menjadi satu di antara kelompok militan terkaya di dunia.
Taliban diketahui mulai memerintah Afghanistan pada 1996 hingga akhir 2001 karena tumbang setelah AS dan sekutu menginvasi.
Selama dua dekade konflik dengan AS, puluhan ribu pejuang kelompok ini tewas.
Baca juga: Detik-detik AS Resmi Keluar dari Afghanistan, Taliban Bersiap Mengambil Alih Bandara Kabul
Namun kontrol teritorial dan kekuatan militernya terus meningkat dalam beberapa tahun ke belakang.
Menurut laporan AS, pada pertengahan 2021 lalu Taliban memiliki sekitar 70 ribu hingga 100 ribu pejuang, naik 30 ribu dari 10 tahun lalu.
Pendapatan tahunan Taliban mulai 2011 dan seterusnya diperkirakan sekitar $400 juta, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tetapi pada akhir 2018 ini mungkin telah meningkat secara signifikan, hingga $1,5 miliar per tahun, menurut penyelidikan BBC.
Berikut sederet sumber kekayaan Taliban:
1. Donasi Luar Negeri
Pemerintah AS dan Afghanistan menduga sejumlah negara seperti Pakistan, Iran, dan Rusia memberikan bantuan keuangan kepada Taliban, meski tuduhan ini telah dibantah.
Kendati demikian, warga dari Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar dianggap sebagai kontributor individu terbesar.
Meskipun tidak mungkin diukur secara tepat, sumber-sumber pendanaan ini dianggap memberi kekuatan keuangan yang signifikan kepada Taliban.
Menurut para ahli, sumbangan ini bisa mencapai $500 juta per tahun.
Sementara itu, laporan rahasia intelijen AS memperkirakan bahwa pada 2008 Taliban menerima $106 juta dari sumber asing, khususnya dari negara-negara Teluk.
2. Narkoba
Afghanistan adalah produsen opium terbesar di dunia yang dapat disuling menjadi heroin.
Dengan perkiraan nilai ekspor tahunan sebesar $1,5-$3 miliar, opium adalah bisnis besar, mampu memasok kebutuhan heroin di seluruh dunia.
Pajak budidaya sebesar 10% dikumpulkan dari petani opium, menurut pejabat pemerintah Afghanistan.
Pajak juga dilaporkan dikumpulkan dari laboratorium yang mengubah opium menjadi heroin serta para pedagang yang menyelundupkan obat-obatan terlarang.
Perkiraan pendapatan tahunan Taliban dari obat-obatan terlarang berkisar antara $100 juta-$400 juta.
Komandan AS Jenderal John Nicholson dalam laporannya pada 2018 menyebut, perdagangan narkoba menyumbang 60% pendapatan tahunan Taliban.
Kendati demikian, Taliban kerap menyangkal keterlibatan dalam industri obat-obatan dan mengaku telah melarang penanaman opium selama periode kekuasaan pada tahun 2000.
3. Perluasan Area Kekuasaan
Dalam sebuah surat terbuka pada 2018, Taliban memperingatkan para pedagang Afghanistan untuk membayar pajak atas berbagai barang, termasuk bahan bakar dan bangunan, ketika bepergian melalui daerah-daerah yang mereka kuasai.
Setelah menggulingkan pemerintah Afghanistan, Taliban kini mengendalikan semua rute perdagangan utama di negara itu, serta penyeberangan perbatasan.
Sumber pendapatan Taliban akan meningkat dari sisi impor dan ekspor.
Selama dua dekade terakhir, sejumlah besar uang bantuan dari negara Barat juga secara tidak sengaja berakhir di kantong Taliban.
Taliban dilaporkan mengenakan pajak pada proyek pembangunan dan infrastruktur seperti jalan, sekolah, dan klinik yang sebagian besar didanai oleh Barat.
Taliban juga diperkirakan menghasilkan puluhan juta dolar setiap tahun dari pajak pengemudi truk yang memasukkan pasukan internasional.
Kepala Perusahaan Listrik Afghanistan mengatakan kepada BBC pada 2018, bahwa Taliban menghasilkan lebih dari $2 juta per tahun dengan menagih pajak listrik di berbagai bagian negara.
Selain itu, setiap kali Taliban merebut sebuah pos militer atau pusat kota, mereka akan menggasak stok dan menyita sejumlah senjata, mobil, dan kendaraan lapis baja.
4. Tambang dan Mineral
Selain kaya akan opium, Afghanistan juga memiliki kekayaan mineral dan batu mulia.
Industri pertambangan di Afghanistan bernilai sekitar $ 1 miliar per tahun, menurut pejabat pemerintah Afghanistan.
Sebagian besar ekstraksi dalam skala kecil dan sebagian besar dilakukan secara ilegal.
Taliban menguasai lokasi penambangan dan memeras uang dari operasi penambangan legal dan ilegal.
Dalam laporan tahun 2014, Analytical Support and Sanctions Monitoring Team PBB mengatakan Taliban menerima lebih dari $10 juta per tahun dari 25 hingga 30 operasi penambangan ilegal di provinsi Helmand selatan.
Berita terkait Konflik di Afghanistan
(Tribunnews: Fahdi/Ika Nur Cahyani)