TRIBUNNEWS.COM – Pasukan Taliban dan pejuang perlawanan yang setia kepada pemimpin lokal Ahmad Massoud bertempur di Lembah Panjshir, Afghanistan pada Kamis (2/9/2021).
Pertempuran antar saudara di Afghanistan ini terjadi dua minggu setelah Taliban menguasai Kabul dan wilayah lainnya dan selesainya penarikan pasukan AS dan asing pada Senin (30/8/2021) lalu.
Panjshir adalah provinsi terakhir yang menentang kekuasaan Taliban, yang merebut kembali kendali Afghanistan ketika pasukan AS dan asing menarik diri setelah 20 tahun konflik setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Masing-masing pihak mengatakan telah menimbulkan banyak korban.
"Kami memulai operasi setelah negosiasi dengan kelompok bersenjata lokal gagal," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid.
Baca juga: Taliban Umumkan Pemerintahan Afghanistan Hari Kamis, Kelompok Panjshir Menolak Gabung
Baca juga: Taliban Kepung Pejuang Perlawanan Afghanistan di Panjshir, Ajak Rundingkan Perdamaian
Ia mengatakan, pasukan Taliban memasuki Panjshir dan menguasai beberapa wilayah. "Mereka (musuh) menderita kerugian besar,” katanya.
Seorang juru bicara kelompok Front Perlawanan Nasional Afghanistan (NRFA) di Panjshir mengatakan mereka memiliki kendali penuh atas semua jalan masuk dan pintu masuk dan meningkatkan upaya merebut Distrik Shotul.
"Musuh melakukan beberapa upaya untuk memasuki Shotul dari Jabul-Saraj, dan gagal setiap kali," katanya, mengacu pada sebuah kota di provinsi tetangga Parwan.
Sejak Taliban menyerbu Kabul pada 15 Agustus, beberapa ribu pejuang dari milisi lokal dan sisa-sisa angkatan bersenjata pemerintah Afghanistan berkumpul di Panjshir di bawah kepemimpinan Massoud, putra seorang mantan komandan Mujahidin.
Mereka telah bertahan di lembah curam di mana serangan dari luar sulit dilakukan.
Baca juga: Satu-satunya Provinsi Belum Takluk, Taliban Incar Pemimpin Perlawanan di Panjshir, Ahmad Massoud
Baca juga: Satu-satunya Provinsi Belum Takluk, Taliban Incar Pemimpin Perlawanan di Panjshir, Ahmad Massoud
Upaya untuk merundingkan penyelesaian tampaknya telah gagal, dengan masing-masing pihak menyalahkan pihak lain atas kegagalan tersebut.
Mujahid mengatakan pengumuman pemerintahan baru tinggal beberapa hari lagi, sementara pejabat Taliban Ahmadullah Muttaqi mengatakan sebuah upacara sedang diselenggarakan di istana presiden.
Sebuah media lokal Tolo News melaporkan bahwa pemimpin Taliban, Hibatullah Akhundzada, akan memimpin pemerintahan baru.
Pernyataan tentang pemerintahan baru dikeluarkan setelah pasukan perlawanan anti-Taliban di Provinsi Panjshir, timur laut Afghanistan, mengumumkan bahwa mereka menolak bergabung dan akan terus memerangi Taliban.
"Setelah negosiasi gagal dan serangan Taliban terakhir, diputuskan bahwa negosiasi selesai dan pertempuran melawan Taliban akan berlangsung di Panjshir dan wilayah lain di Afghanistan," kata Front Perlawanan Nasional dalam sebuah pernyataan.
Baca juga: Rayakan Penarikan Pasukan AS di Bandara Kabul, Taliban Sebut Afghanistan Negara Bebas dan Berdaulat
Baca juga: Taliban Janji Atasi ISIS, Berharap Serangan Berhenti Ketika AS Keluar dari Afghanistan
Menurut Front, Taliban menawarkan satu atau dua kursi di pemerintahan yang mereka coba bentuk, tetapi perlawanan menolak tawaran itu.
Taliban memberlakukan bentuk radikal syariah, atau hukum Islam, ketika memerintah dari 1996-2001.
Namun kali ini, Taliban mencoba menampilkan wajah yang lebih moderat.
Taliban berjanji melindungi hak asasi manusia dan tidak akan melakukan balas dendam terhadap musuh lama.
Amerika Serikat, Uni Eropa dan lain-lain meragukan jaminan tersebut, mengatakan pengakuan formal pemerintah baru, dan bantuan ekonomi yang akan mengalir dari itu, bergantung pada tindakan.
Baca juga: Taliban: Amerika Telah Kalah, Kami Ingin Berhubungan Baik dengan Seluruh Dunia
Baca juga: Pemimpin Taliban Hibatullah Akhundzada Bakal Jadi Otoritas Tertinggi Afghanistan, Ini Profilnya
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan pada hari Kamis bahwa Jerman siap untuk melanjutkan kehadiran diplomatik di Kabul jika Taliban memenuhi persyaratan tertentu.
"Kami ingin melihat pemerintah yang inklusif (di Kabul), penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perempuan yang mendasar,” katanya.
Ia menegaskan, “Afghanistan tidak boleh lagi menjadi tempat berkembang biak bagi terorisme internasional."
Begitupun dengan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian, yang mengatakan kepada surat kabar Le Figaro bahwa Paris belum melihat sinyal positif bahwa kelompok itu telah berubah.
Sebuah sumber yang mengetahui langsung langkah tersebut mengatakan para diplomat Afghanistan telah diminta untuk tinggal di pos luar negeri untuk sementara waktu dengan alasan belum terlihat perubahan pada Taliban. (Tribunnews.com/CNA/Hasanah Samhudi)