News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik di Afghanistan

Demi Bertahan Hidup, Warga Afghanistan Terpaksa Jual Perabotan Rumah Tangga

Penulis: Rica Agustina
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasar di lingkungan barat laut Khair Khana di Kabul.

TRIBUNNEWS.COM, KABUL - Krisis kemanusiaan dan kemiskinan di Afghanistan semakin memprihatinkan sejak militan Taliban mengambil alih kekuasaan di negara Asia Tengah itu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan Taliban mengenai krisis kemanusiaan yang terus meningkat di Afghanistan.

PBB memperkirakan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Afghanistan dapat meningkat dari 72 persen menjadi 97 persen pada pertengahan tahun depan.

Sebelum Taliban menguasai Afghanistan pada pertengahan Agustus lalu, negara itu telah mengalami kemiskinan, menghadapi kekeringan, dan kekurangan pangan.

Selain itu, tekanan besar juga terjadi pada layanan kesehatan Afghanistan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Baca juga: Taliban Temukan Uang Jutaan Dolar dan Emas Batangan di Rumah Mantan Wapres Afghanistan

Menindaklanjuti krisis tersebut, PBB mengadakan konferensi bantuan di Jenewa pada Senin (13/9/2021) untuk mengumpulkan lebih dari $600 juta (Rp 8,5 triliun), untuk diberikan kepada Afghanistan, lapor Reuters.

Sebanyak 18 juta warga Afghanistan yang belum bisa melarikan diri dari pemerintahan Taliban, kini bergantung pada bantuan asing.

Warga Afghanistan juga bertahan hidup dengan menjual barang-barang mereka ke pasar loak di ibu kota Kabul, bahkan menawarkan dengan harga terendah.

Dilansir CNA, pasar loak di Kabul kini dipenuhi dengan barang-barang yang dijual oleh warga Afghanistan yang putus asa.

Piring, gelas, dan peralatan dapur tampak ditumpuk tinggi di atas meja darurat di pasar luar ruangan.

Di sampingnya ada televisi tahun 1990-an dan mesin jahit Singer tua.

Sementara karpet yang digulung disangga di sofa dan tempat tidur bekas.

Seorang warga Afghanistan mengatakan, kesempatan kerja semakin sedikit.

Mereka hanya diizinkan untuk menarik $200 (Rp 2,8 juta) per minggu dari rekening bank mereka, yang berarti persediaan uang tunai terbatas.

Baca juga: Pemimpin Al Qaeda Ayman al-Zawahiri Muncul saat Peringatan 9/11, Singgung Yerusalem dan Afghanistan

"Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan, kami miskin dan kami terpaksa menjual barang-barang ini," kata Mohammad Ehsan, yang tinggal di sebuah permukiman di lereng bukit Kabul.

Ehsan datang ke pasar sambil membawa dua selimut untuk dijual.

Ia mengatakan dulu bekerja sebagai buruh, tetapi proyek pembangunan dibatalkan atau ditunda.

"Orang-orang kaya berada di Kabul, tetapi sekarang semua orang telah melarikan diri," katanya kepada AFP.

Dia adalah salah satu dari banyak warga Afghanistan yang datang ke pasar loak untuk menjual apa yang bisa mereka simpan langsung kepada pembeli.

Warga membawa barang-barang di punggung atau menjualnya di atas gerobak jalanan yang reyot.

Ehsan mengaku telah hidup melalui perubahan demi perubahan di Afghanistan.

Warga Afghanistan di pasar loak Kabul. (Foto AFP)

Untuk itu, dia kini waspada terhadap klaim perdamaian dan kemakmuran Taliban.

Sebab, harga pangan pokok meroket ketika Taliban terakhir berkuasa dari 1996 hingga 2001.

"Anda tidak bisa mempercayai salah satu dari mereka," kata Ehsan.

Lebih jauh ke pasar, orang-orang bekerja untuk memperbaiki barang-barang listrik seperti stereo, kipas angin, dan mesin cuci sebelum menjualnya.

Remaja laki-laki memeras wortel atau jus delima di kios keliling, sedangkan yang lain memilah pisang, kentang, dan telur di gerobak dorong.

Ragmen, penjaga toko yang membeli dan menjual barang bekas mengatakan, mereka tidak pernah begitu sibuk.

Sementara itu, Mostafa, berbicara dari kontainer pengirimannya yang berfungsi sebagai tokonya, mengatakan kepada AFP, banyak orang yang bepergian ke perbatasan dengan harapan meninggalkan negara itu.

"Dulu, kami akan membeli barang dari satu atau dua rumah tangga dalam seminggu. Sekarang, jika Anda memiliki toko besar, Anda dapat memiliki isi 30 rumah tangga sekaligus. Orang-orang tidak berdaya dan miskin," katanya kepada AFP.

"Mereka menjual barang-barang mereka yang bernilai $6.000 (Rp 85 juta) dengan harga sekitar $2.000 (Rp 28 juta)," tambahnya.

Mostafa mengatakan  tidak punya rencana untuk pergi.

Ia menambahkan, pembeli di tokonya sering kali adalah mereka yang melarikan diri dari provinsi pedesaan demi mencari keamanan ibu kota ketika Taliban melancarkan serangan besar-besaran.

Seorang tukang kain lainnya, yang tidak mau disebutkan namanya karena takut akan keselamatannya, mengatakan kepada AFP,  baru mendirikan kiosnya dalam beberapa pekan terakhir.

"Saya adalah seorang pelatih di militer selama 13 tahun," katanya.

Ia menambahkan hidup dalam ketakutan akan Taliban.

"Sayangnya, masyarakat kami terbalik, jadi kami terpaksa melakukan hal lain. Saya menjadi seorang ragman (pengumpul kain tua) kami tidak punya pilihan lain," katanya.

Baca artikel lain seputar Konflik di Afghanistan

(Tribunnews.com/Rica Agustina/Ika Nur Cahyani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini