TRIBUNNEWS.COM - Ribuan orang di Sudan turun ke jalan, berdemonstrasi di ibu kota Khartoum untuk mendukung pemerintahan sipil, Kamis (30/9/2021).
Pasukan keamanan Sudan kemudian menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstran.
Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk mendukung transisi yang dipimpin sipil menuju demokrasi.
Dikutip dari Aljazeera, diperkirakan sebanyak 20.000 orang datang dengan kereta api dari Atbara dan Madani dan berkumpul di ibu kota Khartoum.
Baca juga: Militer Sudan Gagalkan Upaya Serangan Ethiopia di Kawasan Perbatasan
Baca juga: Kepala Kepolisian Nasional Jepang Tadashi Nakamura Fokus Antisipasi Serangan Siber
Ribuan orang menyambut kedatangan kereta Madani, memanjat ke atas, dan mengibarkan bendera nasional.
“Tentara adalah tentara Sudan, bukan tentara Burhan," teriak demonstran.
Protes tersebut mengacu pada Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin militer Sudan dan Dewan Kedaulatan yang mengaturnya.
“Kami datang hari ini untuk membatalkan kudeta dan mendukung pemerintahan sipil,” kata Eman Salih, seorang mahasiswa berusia 22 tahun.
“Kami tidak akan membiarkan militer mengendalikan revolusi kami," tambahnya.
Pasukan keamanan kemudian menembakkan tembakan gas air mata untuk membubarkan pertemuan itu.
"Tujuan dari pawai ini adalah untuk melindungi transisi demokrasi Sudan dan tidak ada cara untuk mencapai itu selain mengakhiri kemitraan dengan dewan militer," bunyi sebuah pernyataan oleh Asosiasi Profesional Sudan.
Perdana Menteri Abdalla Hamdok, mengatakan dia berkomitmen untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh transisi demokrasi bangsanya.
Dia menambahkan, demokrasi dan inklusivitas adalah prioritas tertingginya.
Dalam pertemuan virtual yang diselenggarakan oleh PBB, Hamdok mengatakan, mengadakan pemilihan umum yang bebas di akhir masa transisi adalah yang paling penting.
Baca juga: China Kirimkan Bantuan Kemanusiaan untuk Rakyat Afghanistan
Baca juga: Kemampuan Taliban untuk Kuasai Afghanistan di Luar Prediksi Amerika Serikat
Hal itu memungkinkan rakyat Sudan memilih pemerintahan sesuai dengan pilihan mereka.
“Bagaimanapun Rakyat Sudan memiliki harapan yang sangat tinggi tentang revolusi dan perubahan, tetapi ini adalah warisan 30 tahun yang tidak dapat dibatalkan dalam waktu singkat, ”katanya.
Setelah upaya kudeta minggu lalu, para pejabat sipil menuduh para pemimpin militer melampaui batas-batas mereka.
Sementara itu, para jenderal mengkritik manajemen sipil atas proses ekonomi dan politik, dengan mengatakan bahwa pasukan mereka diabaikan dan tidak dihargai.
Militer menyingkirkan al-Bashir pada April 2019 setelah berbulan-bulan protes yang dipicu oleh krisis ekonomi dan menandatangani kesepakatan pembagian kekuasaan dengan koalisi Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC) sipil.
FFC mendukung demonstrasi dari gugus tugas yang bekerja untuk membongkar pemerintahan Bashir.
(Tribunnews.com/Yurika)