TRIBUNNEWS.COM - Kasus Nagaenthran K. Dharmalingam, terpidana mati kasus narkoba, menarik perhatian dunia.
Warga negara Malaysia keturunan India ini ditangkap pada April 2009 di Singapura karena mencoba menyelundupkan heroin.
Dia berusia 21 tahun saat itu.
Satu tahun kemudian, Nagaenthran divonis hukuman mati.
Nagaenthran Dharmalingam dijadwalkan akan digantung pada hari Rabu (10/11/2021).
Namun dua hari sebelum ekseksui, Pengadilan Tinggi Singapura mengabulkan permintaan penundaan eksekusi.
Pihak berwenang Malaysia dan kelompok hak asasi manusia menyerukan penundaan eksekusi karena IQ Nagaenthran yang rendah.
BBC melaporkan, IQ Nagaenthran hanya 69, tingkat yang diakui sebagai indikasi disabilitas intelektual.
Namun Pengadilan Singapura sebelumnya telah memutuskan bahwa Nagaenthran tahu betul apa yang dia lakukan.
Keputusan pemerintah Singapura untuk mengeksekusi Nagaenthran menimbulkan kecaman oleh organisasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil.
Mereka berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan standar hak asasi manusia internasional dalam kasus Nagaenthran, mengingat ia memiliki fungsi intelektual dan defisit kognitif yang terbatas.
Kecacatan ini dianggap akan mempersulit Nagaenthran untuk menilai risiko dan juga akan menyulitkannya untuk secara akurat menjelaskan keadaannya.
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob baru-baru ini menulis surat kepada rekannya di Singapura, Lee Hsien Loong menuntut keringanan hukuman dalam kasus Dharmalingam.
Bagaimana kasus Nagaenthran K. Dharmalingam?