TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan di Myanmar menunda putusannya dalam persidangan kasus pemimpin yang dikudeta militer, Aung San Suu Kyi, Selasa (30/11/2021), AP News melaporkan.
Pengadilan setuju dengan mosi pembelaan yang mengizinkan seorang dokter yang sebelumnya tidak dapat datang ke pengadilan untuk menambahkan kesaksiannya, kata seorang pejabat hukum.
Hakim menunda persidangan hingga 6 Desember, ketika saksi baru, dokter Zaw Myint Maung, dijadwalkan untuk bersaksi, kata pejabat yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Sementara itu, tidak diketahui secara pasti kapan putusan mengenai tuduhan penghasutan dan pelanggaran pembatasan virus corona akan dikeluarkan.
Adapun vonis tersebut akan akan menjadi yang pertama bagi peraih Nobel berusia 76 tahun itu sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021.
Baca juga: Asisten Menlu Amerika Serikat Kunjungi ke Asia Tenggara, Bahas Kerja Sama hingga Junta Myanmar
Diketahui, Aung San Suu Kyi telah menghadapi persidangan atas serangkaian tuduhan lain, termasuk korupsi, yang dapat mengirimnya ke penjara selama puluhan tahun jika terbukti bersalah.
Kasus-kasus tersebut secara luas dilihat sebagai tuduhan yang bertujuan untuk mendiskreditkan Aung San Suu Kyi dan mencegahnya mencalonkan diri dalam pemilihan berikutnya.
Sebab, konstitusi negara itu melarang siapa pun yang dijatuhi hukuman penjara untuk memegang jabatan tinggi atau menjadi anggota parlemen.
Lebih lanjut, Aung San Suu Kyi yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 untuk perjuangan tanpa kekerasan untuk demokrasi, belum terlihat di depan umum sejak ditahan pada hari kudeta militer.
Dia telah muncul di pengadilan di beberapa persidangannya, yang tertutup untuk media dan penonton.
Baca juga: KTT ASEAN-China: Beijing Sebut Tak Akan Ganggu Negara-negara Kecil hingga Diadakan Tanpa Myanmar
Pada bulan Oktober, pengacara Suu Kyi, yang menjadi satu-satunya sumber informasi tentang proses hukum, diperintahkan untuk bungkam dan tidak memberikan informasi kepada publik.
Aung San Suu Kyi ditangkap militer ketika partai Liga Nasional untuk Demokrasi akan memulai masa jabatan kedua.
Partainya menang telak dalam pemilihan umum November 2020.
Militer, yang partai sekutunya kehilangan banyak kursi, mengklaim ada kecurangan pemungutan suara besar-besaran, tetapi pemantau Pemilu independen tidak mendeteksi adanya penyimpangan besar.
Kudeta pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi disambut oleh demonstrasi non-kekerasan nasional yang ditumpas oleh pasukan keamanan dengan kekuatan mematikan.
Setidaknya hampir 1.300 warga sipil tewas di tangan militer, menurut penghitungan oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Dengan pembatasan ketat pada protes tanpa kekerasan, perlawanan bersenjata telah tumbuh di kota-kota dan pedesaan ke titik.
Para ahli PBB telah memperingatkan Myanmar untuk menghindari meletusnya perang saudara.
Baca juga artikel lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)