TRIBUNNEWS.COM – Junta militer Myanmar Min Aung Hlaing telah digugat di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dengan tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Disebutkan, sebagai panglima militer, junta militer telah menyaksikan penumpasan pengunjuk rasa dan aktivis yang menentang kudeta 1 Februari.
Proyek Akuntabilitas Myanmat (MAP) dalam gugatannya pada Jumat (10/12/2021) mendesak ICC di Den Haag mengadakan penyelidikan kriminal atas penyiksaan besar-besaran dan sistematis sebagai bagian dari tindakan keras melawan gerakan protes di negara Asia Tenggara itu.
Seorang utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Juli menggambarkan taktik pemerintah militer terhadap para pembangkang sebagai kampanye teror yang brutal.
“Pemimpin kudeta ilegal bertanggung jawab secara pidana atas pasukan keamanan di bawah komandonya yang melakukan kejahatan kekejaman massal,” kata Direktur MAP Chris Gunness dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir dari Al Jazeera.
Baca juga: Vonis Hukuman Penjara Terhadap Aung San Suu Kyi Dikurangi, Ada Pengampunan Sebagian dari Junta
Baca juga: Tentara Myanmar Bakar Hidup-hidup 11 Warga Sipil sebagai Balasan Serangan terhadap Konvoi Militer
"Potensi pidananya bagus dan kami percaya bahwa sangat banyak alasan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Min Aung Hlaing,” katanya.
MAP mengatakan bahwa bukti kekerasan yang mereka kumpulkan, serta insiden baru-baru ini, menunjukkan bahwa penggunaan penyiksaan di Myanmar tersebar luas, sistematis dan merupakan hasil dari kebijakan di seluruh negara bagian.
"Ini jelas memenuhi ambang kejahatan terhadap kemanusiaan," kata pernyataan itu.
“Pengajuan kami ke ICC menetapkan kasus yang kuat untuk tanggung jawab pidana atas kejahatan ini sampai ke Min Aung Hlaing sendiri,” kata Gunness.
Pertumpahan Darah
Baca juga: Pasukan Anti Militer Tembak Mati Eksekutif Mytel, Hampir Setiap Hari Bunuh Pejabat Junta Myanmar
Baca juga: Pasukan Militer Berkumpul di Utara Myanmar, PBB Khawatir Junta Siapkan Taktik Serangan Genosida
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok hak asasi yang melacak penahanan dan orang tewas, menyebutkan bahwa setidaknya 1.205 orang tewas sejak kudeta 1 Februari hingga Rabu (8/12/2021).
Disebutkan, di antara yang tewas tersebut termasuk lebih dari 75 orang anak-anak. Sementara 10.756 orang lainnya ditangkap.
Reaksi militer yang semakin keras membuat pengunjuk rasa mempersenjatai diri sehingga kekerasan semakin meningkat.
Pada hari Rabu (8/12/2021), Juru Bicara PBB Stephane Dujarric melaporkan, lebih banyak pertumpahan darah.