TRIBUNNEWS.COM - Gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha'apai meletus pada Sabtu (15/1/2022).
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, letusan tersebut memicu terjadinya tsunami di Hawaii, Jepang dan pulau terbesar Tonga, Tongatapu.
Letusan pertama terjadi pada Jumat (14/1/2022).
Kemudian, letusan kedua terjadi pada Sabtu (15/1/2022) pukul 17.26 waktu setempat yang kemudian memicu tsunami.
Letusan gunung berapi tersebut mengeluarkan gumpalan abu, gas dan uap setinggi 20 kilomter ke udara.
Baca juga: Kronologi Letusan Gunung Hunga Tonga yang Memicu Terjadinya Tsunami, Langit Gelap saat Sore Hari
Baca juga: BMKG: Tsunami Akibat Letusan Gunung Berapi Bawah Laut Tonga Tidak Berbahaya untuk Indonesia
Mengenal Gunung Hunga Tonga-Hunga Ha'apai
Profesor Emeritus Richard Arculus dari Australian National University mengatakan, secara teknis, gunung berapi yang meletus di Hunga Tonga-Hunga Ha'apai diklasifikasikan sebagai gunung berapi bawah laut.
Dikutip dari ABC, gunung berapi tersebut berada di antara dua daratan, yakni Hunga Tonga dan Hunga Ha'apai.
Sementara, lubang atau kawah gunung berapi berada di atas air.
Profesor Arculus mengatakan gunung tersebut cukup aktif dalam 15 tahun terakhir.
Pada letusan tahun 2015, abunya memaksa beberapa maskapai penerbangan untuk membatalkan penerbangan masuk dan keluar dari Tonga.
Pada saat itu, ahli meteorologi Otoritas Penerbangan Sipil Selandia Baru Peter Lechner mengatakan kepada Radio Selandia Baru bahwa gunung berapi itu mengirimkan abu vulkanik lebih dari 9.000 meter ke udara.
Dia juga mengatakan gunung berapi itu pernah meletus pada 2009, 1988, 1937, dan 1912.
Baca juga: Dampak Letusan Gunung Berapi di Tonga, Pantai Barat AS dan Hawaii di Bawah Peringatan Tsunami
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Kerajaan Tonga yang Diterjang Gelombang Tsunami Pasca Erupsi Gunung Hunga Tonga
Ketika gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai meletus pada tahun 2015, para ilmuwan tidak memperkirakan massa daratan yang terbentuk akan bertahan lama.
Lanskapnya telah terkikis dan berubah selama beberapa tahun terakhir.
Profesor Arculus menambahkan, aktivitas gunung berapi dapat berlanjut selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan tetapi sulit untuk memprediksi apakah atau kapan ledakan kuat lainnya akan terjadi lagi.
"Ini mungkin belum berakhir," katanya.
Sementara itu, Grace Legge, Ahli Meteorologi Senior untuk Biro Meteorologi Australia memperingatkan situasinya berbahaya dan berubah.
Menurutnya, letusan gunung bawah laut jauh lebih sulit diprediksi daripada pola cuaca atmosfer atau gempa bumi.
(Tribunnews.com/Latifah/Daryono)