Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NEW JERSEY - Raksasa farmasi Amerika Serikat (AS) Merck telah membuat kesepakatan dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk membuat obat generik di negara miskin dan memproduksi versi yang lebih murah dari pil antivirus Covid-19 Molnupiravir.
Merck mengumumkan pada Selasa lalu bahwa mereka akan memberikan lisensi sukarela untuk Molnupiravir kepada 27 produsen obat generik dan Medicines Patent Pool.
Perlu diketahui, Medicines Patent Pool merupakan sebuah badan yang didukung PBB dan digunakan untuk mendapatkan lisensi untuk obat-obatan yang lebih murah bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC).
Dengan menyetujui kesepakatan tersebut, Merck dan mitranya dalam memproduksi obat, yakni Ridgeback Biotherapeutics dan Emory University, tidak akan menerima royalti untuk Molnupiravir yang dijual berdasarkan kesepakatan tersebut.
Perusahaan juga akan mengalokasikan hingga 3 juta kursus Molnupiravir untuk UNICEF yang akan didistribusikan kepada lebih dari 100 LMIC pertengahan 2022 ini.
Baca juga: Irlandia Hapus Hampir Semua Pembatasan Covid, Klaim Telah Lewati Gelombang Omicron
Mengikuti otorisasi peraturan, seperti antivirus lainnya, Molnupiravir digunakan untuk mengobati pasien yang terpapar virus corona (Covid-19) demi mengurangi dampak virus, dibandingkan mencegah penularannya dari orang ke orang.
Dikutip dari laman Sputnik News, Minggu (23/1/2022), obat tersebut mengganggu kemampuan SARS-CoV-2 untuk bereplikasi dalam sel manusia, mempersingkat waktu infeksi pasien, dan mencegah jenis respons imun berbahaya yang dapat membuat mereka dirawat di rumah sakit atau membunuh mereka.
Obat ini awalnya dikembangkan Emory untuk mengobati influenza, dan tidak pernah digunakan karena masalah dengan mutagenisitas.
Namun, kemudian Ridgeback dan Merck bekerja sama untuk mengembangkan obat ini lebih lanjut.
Baca juga: Sepekan Kasus Covid-19 Alami Peningkatan, Mal Taman Graha Cijantung Tetap Dipadati Masyarakat
Seorang sumber mengatakan bahwa kursus 5 hari 40 pil Molnupiravir diperkirakan membutuhkan biaya sekitar 20 dolar AS di negara-negara miskin, meskipun mereka mencatat bahwa hal itu dapat berubah.
Terlepas dari itu, biaya tersebut tentu jauh di bawah apa yang pemerintah AS setujui pada Juni 2021 untuk membayar 1,7 juta kursus perawatan pertama, yakni 700 dolar AS per kursus.
Sementara raksasa farmasi lainnya, seperti Pfizer dan AstraZeneca, telah mencapai kesepakatan untuk memungkinkan pemrosesan akhir vaksin mereka di negara-negara seperti India dan Afrika Selatan.
Namun, lembaga mitra mereka belum diberikan resep untuk bahan vaksin yang akan dikerjakan.
Dalam kesepakatan Merck dengan MPP, perusahaan mitra yang akan membuat seluruh obat.
Di sisi lain, distribusi Molnupiravir disebut akan menghadapi sejumlah rintangan, termasuk bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyetujui obat tersebut.
Baca juga: Jakarta Kembali Jadi Penyumbang Tertinggi Kasus Harian Covid-19 di Indonesia, Disusul Jabar & Banten
Ini tentu akan menghalangi ketersediaan Molnupiravir di banyak negara miskin tanpa badan pengatur independen.
Banyak negara yang memiliki badan semacam itu sejauh ini menolak untuk menyetujui Molnupiravir juga, dengan alasan kurangnya kepercayaan pada efektivitasnya dalam mengobati Covid-19.
Pada awal bulan ini, Direktur Jenderal Dewan Riset Medis India (ICMR) Balram Bhargava mengatakan obat itu 'memiliki masalah keamanan utama' yang membuat Kementerian Kesehatan India tidak memasukkannya dalam protokol klinis Covid-19 nasionalnya.
"AS telah menyetujuinya hanya berdasarkan 1.433 pasien dengan pengurangan 3 persen pada penyakit gejala sedang, bila diberikan dalam kasus ringan. Namun, kita harus ingat bahwa obat ini memiliki masalah keamanan utama karena dapat menyebabkan teratogenisitas, mutagenisitas, dan juga dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan dan juga dapat merusak otot," kata Bhargava.
Ia kembali mengingatkan bahwa hal terpenting lainnya adalah jika obat ini diberikan kepada pasien pria maupun wanita dewasa, maka mereka harus menggunakan alat kontrasepsi selama 3 bulan.
"Karena anak yang dikandung selama periode itu mungkin akan memiliki masalah dengan pengaruh teratogenik," jelas Bhargava.