TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Ukraina dikabarkan mengimbau atletnya tidak berinteraksi dengan kontingen dari Rusia.
Ini terjadi di tengah ancaman invasi yang dilakukan Rusia atas Ukraina.
Pejabat Kyiv dilaporkan menyarankan para atlet menghindari interaksi sosial dengan rekan-rekannya dari Rusia menyusul gelaran Olimpiade Beijing pekan depan.
Artinya, dilaporkan Newsweek, mungkin tidak akan ada foto bersama antara dua rival ini.
Ukraina juga dilaporkan meminta atletnya tidak bicara bahasa Rusia saat wawancara media.
Baca juga: Rusia dan Ukraina Sepakat Gencatan Senjata Permanen Harus Dipatuhi Tanpa Syarat
Baca juga: Situasi Memanas, Ini Akar Konflik Ukraina dan Rusia hingga NATO Kirim Bantuan
Menurut media Rusia, RT, Menteri Olahraga Ukraina Vadim Gutzeit juga dilaporkan meminta para atlet tidak difoto bersama dengan rivalnya dari Rusia.
Olimpiade Musim Dingin Beijing dimulai dengan upacara pembukaan pada 4 Februari mendatang.
Rusia tidak mengirim tim resmi karena dikenai sanksi oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) setelah dituduh menjalankan program doping yang didukung negara.
Sebagai gantinya, Rusia bertanding di ajang olahraga nasional dengan akronim ROC atau Russian Olympic Committee.
Dalam olimpiade kali ini, Rusia mengirim lebih dari 200 atletnya ke Beijing.
Sementara itu, Ukraina hanya mengirim 45 kontingen, menurut media Ukraina, Odessa Journal.
Sentimen Ukraina terhadap Rusia di ajang olahraga sebenarnya juga terjadi pada Olimpiade Tokyo 2020 tahun lalu.
Atlet lompat tinggi Ukraina Yaraslova Mahuchikh, peraih medali perunggu, jadi bulan-bulanan setelah merangkul Maria Lasitskene, kontingen Rusia yang merupakan juara Olimpiade.
Momen tersebut berbuntut panjang, bahkan pajabat tingkat tinggi Ukraina mengadakan pertemuan.
Wakil Menteri Pertahanan Ukraina, Anna Malyar, menyebut pelukan atletnya dengan atlet Rusia sebagai "perilaku ceroboh".
Ia juga menilai, hal itu bisa jadi cara intelijen Rusia menyusup ke militer Ukraina.
Awal Mula Konflik Rusia-Ukraina
Ukraina merupakan bagian dari Kekaisaran Rusia selama berabad-abad sebelum menjadi Republik Uni Soviet dan merdeka saat Uni Soviet bubar pada 1991.
Dilansir Al Jazeera, sejak saat itu Ukraina menjalin hubungan dekat dengan Barat dan melepaskan warisan Kekaisaran Rusia.
Pada 2014, terjadi kerusuhan besar yang disebut Revolution of Dignity di Ukraina karena mantan Presiden Viktor Fedorovych menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow.
Ini menyebabkan protes besar-besaran untuk menggulingkan Fedorovych dari jabatannya.
Baca juga: AS, NATO Kirim Tanggapan Tertulis Atas Tuntutan Keamanan Rusia
Baca juga: Berita Foto : AS Kirim Bantuan Militer ke Ukraina
Menanggapi hal ini, Rusia kemudian mencaplok Semenanjung Krimea di Ukraina dan mendukung kelompok pemberontak separatis di timur Ukraina.
Ukraina dan Barat menuduh Rusia mengirim pasukan dan senjata untuk mendukung pemberontak, namun Moskow berdalih warga Rusia yang bergabung dengan separatis adalah simpatisan.
Menurut Kyiv, lebih dari 14.000 orang tewas dalam pertempuran yang menghancurkan Donbas, jantung industri timur Ukraina.
Sementara itu, Moskow mengecam keras AS dan sekutu NATO-nya karena menyediakan senjata bagi Ukraina dan mengadakan latihan bersama.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)