TRIBUNNEWS.COM - Taliban memperingatkan bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali kebijakannya terhadap Amerika Serikat (AS) jika Presiden Joe Biden tidak mengembalikan aset Afghanistan.
Taliban meminta setengah dari US$7 miliar aset Afghanistan yang disimpan di tanah AS untuk segera dibebaskan, Senin (14/2/2022).
Amerika Serikat rencananya akan membebaskan setengah dari 7 miliar dolar AS dalam aset bank sentral Afghanistan yang dibekukan di wilayah AS untuk membantu warga Afghanistan yang berjuang dengan krisis kemanusiaan dan menahan sisanya untuk kemungkinan memenuhi tuntutan hukum terkait terorisme terhadap Taliban.
"Jika Amerika Serikat tidak menyimpang dari posisinya dan melanjutkan tindakan provokatifnya, Imarah Islam juga akan dipaksa untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya terhadap negara itu," pernyataan dari Taliban yang dirilis oleh juru bicaranya, seperti dikutip dari CNA.
“Imarah Islam sangat menolak tindakan Biden yang tidak dapat dibenarkan sebagai pelanggaran terhadap hak semua warga Afghanistan,” tambahnya.
Baca juga: Kepala WHO Bertemu Menkes Taliban Bahas Krisis Kesehatan Afghanistan
Baca juga: Universitas Dibuka Lagi, Mahasiswi Diizinkan ke Kampus Pertama Kali Sejak Taliban Kuasai Afghanistan
Rencana Biden meminta setengah dari dana tersebut untuk tetap berada di Amerika Serikat yang tunduk pada litigasi yang sedang berlangsung oleh para korban terorisme AS, termasuk kerabat mereka yang tewas dalam serangan pembajakan 11 September 2001.
"Serangan 9/11 tidak ada hubungannya dengan Afghanistan," kata pernyataan Taliban.
Sementara tidak satu pun dari 11 Sep 2001, pembajak adalah Afghanistan, dalang serangan, kepala Al Qaeda Osama bin Laden, diberi perlindungan oleh pemerintah Taliban saat itu.
Pernyataan itu mengatakan Amerika Serikat akan menghadapi kesalahan internasional dan merusak hubungannya dengan Afghanistan jika keputusan itu tidak dibatalkan.
Secara terpisah, dalam sebuah wawancara dengan media pemerintah Afghanistan RTA, Mullah Yaqoob, penjabat menteri pertahanan Afghanistan dan putra pendiri Taliban Mullah Omar juga menyebut keputusan itu "kejam".
Baca juga: Bantuan Afganistan Diperluas, Taliban Diminta Izinkan Perempuan untuk Sekolah
Baca juga: PBB: Taliban Bunuh 100 Orang Eks Pejabat Pemerintah Afghanistan
"Tidak ada warga Afghanistan yang terlibat dalam insiden itu (9/11) sama sekali," kata Yaqoob, yang ayahnya adalah pemimpin tertinggi Taliban pada saat serangan dan menolak untuk menyerahkan bin Laden, setelah itu Amerika Serikat mengirimkan militernya ke Afganistan.
Invasi itu memulai perang 20 tahun yang berakhir hanya tahun lalu setelah Amerika Serikat dan militer internasional lainnya menarik diri dari Afghanistan, meninggalkan Taliban untuk mengambil alih sekali lagi.
(Tribunnews.com/Yurika)