Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tidak akan terburu-buru melibatkan diri dalam pertikaian antara Rusia dan Ukraina.
Ia berpandangan NATO akan melakukan kalkulasi dengan cermat.
Menurutnya apa yang dilakukan NATO saat ini baru sebatas memberi tekanan pada Rusia untuk menghentikan pergerakan militernya melalui beragam ancaman sanksi dan embargo ekonomi.
"NATO saya kira tidak akan buru-buru melibatkan diri dalam pertikaian Rusia-Ukraina. Mereka akan melakukan kalkulasi untung-rugi secara cermat," kata Fahmi saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (25/2/2022).
Fahmi berpandangan partisipasi langsung NATO baru akan mungkin terjadi jika Rusia ternyata tak bergeming namun tak mampu juga untuk sesegera mungkin menundukkan Ukraina.
Atau sebaliknya, lanjut dia, jika ekspansi Rusia itu dinilai sangat mungkin meluas sehingga mengancam dominasi NATO terutama Amerika Serikat-Inggris dan berpotensi mengubah konstelasi global yang merugikan mereka.
Baca juga: Rusia Diyakini Telah Luncurkan 160 Rudal ke Ukraina, Peringatkan AS dan NATO Tak Campuri Konflik
Sederhananya, lanjut Fahmi, prioritas NATO terutama Amerika Serikat dan Inggris saat ini adalah mengingatkan Rusia untuk tidak berlebihan sehingga mengancam kepentingan mereka.
Sekaligus di sisi lain, kata Fahmi, melihat peluang mendapatkan manfaat lebih besar dari konflik itu dengan membangun persepsi bahwa mereka berpihak pada Ukraina sebagai negara berdaulat.
"Mereka menolerir Rusia yang kuat. Tapi tidak akan menolerir Rusia merusak tatanan global dan 'bisnis' mereka. Jadi menurut saya, cepat atau lambat, perang ini hanya akan berakhir dengan Ukraina yang tetap atau makin lemah serta Rusia yang tetap pada status quo-nya dalam peta kawasan maupun global," kata dia.
Menurutnya, mereka yang berharap Rusia melemah, belum mampu mendapatkan atau menghadirkan momentum seperti di ujung era Uni Soviet dan Gorbachev.
Baca juga: Curhat Presiden Ukraina: Pada Akhirnya Kami Harus Mempertahankan Diri Tanpa Bantuan NATO
Sebaliknya, kata dia, yang membayangkan Rusia akan lebih kuat pascakonflik, berarti meragukan kemampuan negara-negara NATO memaksa perundingan.
"Sekaligus meraup untung dari dinamika kawasan dan dampak globalnya," lanjut Fahmi.
Ia mengatakan apabila dibandingkan, maka kekuatan militer Rusia dan Ukraina jelas seperti gajah dan semut.
Baik dari sisi SDM, alutsista, sarana prasarana maupun logistik Ukraina untuk menggelar perang darat dan udara, kata dia, jauh tertinggal dari Rusia.
"Apalagi untuk bisa berperang dalam durasi yang panjang," kata Fahmi.
Baca juga: NATO Sudah Siagakan Pesawat Tempur, Tapi Belum Akan Tempatkan Pasukan ke Ukraina
Menurutnya tidak ada negara yang benar-benar ingin berperang bahkan negara yang berwatak ekspansionis sekalipun seperti Rusia apalagi dalam durasi yang panjang.
Menurutnya jika Rusia tak bisa menuntaskan penaklukannya dalam waktu singkat, maka pada akhirnya mereka akan kembali ke meja perundingan.
Perang atau konflik terbuka dengan pengerahan kekuatan militer, lanjutnya, selalu diposisikan sebagai aksi pamungkas ketika kekuatan salah satu negara yang saling berhadapan sudah melemah secara signifikan.
"Atau sebaliknya, gelar kekuatan militer menjadi perangkat paksa yang efektif untuk membawa kembali upaya penyelesaian konflik ke meja perundingan setelah kebuntuan politik sebelumnya," kata dia.