Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, MEDYKA - Sinar hangat matahari pagi menghilangkan tanda-tanda terakhir embun beku yang terlihat dari mobil-mobil yang diparkir dalam barisan tak berujung di sepanjang jalan.
Medyka, perbatasan utama antara Polandia dan Ukraina 'secara perlahan pun terbangun', begitu pula puluhan pria dan wanita yang menghabiskan malam di tempat parkir, menunggu tibanya orang yang mereka cintai.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Minggu (27/2/2022), Kementerian Dalam Negeri Polandia pada Sabtu kemarin mengatakan bahwa sejak awal invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu, lebih dari 115.000 pengungsi telah menyeberang ke Polandia.
"Siapapun dari Ukraina diizinkan masuk, bahkan mereka yang tidak memegang paspor yang sah," kata pejabat Polandia.
Sementara itu Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan sebanyak lebih dari 120.000 pengungsi Ukraina telah meninggalkan negara itu sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Kamis lalu.
Namun bagi sebagian besar pengungsi Ukraina, butuh waktu berhari-hari untuk melarikan diri dari perang.
Helena, wanita berusia 49 tahun yang bermukim di Drohobych, Ukraina barat, terlihat sedang menyeruput teh dan menyantap sandwich yang ia terima dari sukarelawan.
Ia mengaku memiliki keluarga di Poznan, Polandia, sehingga dirinya menyadari bahwa perjalanan yang sulit ini pun akan segera berakhir.
Baca juga: Rudal Rusia Hancurkan Kilang Minyak di Pinggir Ibu Kota Kiev, Warga Diminta Berlindung ke Bunker
Namun wajahnya menunjukkan kesedihan karena harus mengalami peristiwa ini.
Mirisnya, butuh waktu 24 jam baginya untuk menyeberangi perbatasan dan tiba di tempat yang aman.
"Itu seperti di neraka," kata Helena, ssebelum akhirnya menangis.
Lalu bagi Denis, pria berusia 30 tahun dari Chernivtsi, Ukraina, yang bekerja di lokasi konstruksi di Polandia, malam itu juga merupakan malam yang sulit.
Ia tiba di Medyka pada Kamis lalu untuk bertemu dengan istri dan anak-anaknya yang rencananya akan datang dari Ukraina.
Namun setelah semalaman menunggu, mereka belum juga terlihat.
Baca juga: Perwakilan RI Diinstruksikan Perbarui Data WNI di Negara yang Berbatasan Langsung dengan Ukraina
"Mereka telah berada di perbatasan selama lebih dari 24 jam. Awalnya, mereka ingin menyeberang dengan berjalan kaki namun sulit, sehingga akhirnya mereka menemukan bus, setidaknya cuacanya tidak sedingin di luar. Namun selama 5 jam terakhir, penjaga perbatasan tidak membiarkan siapapun lewat, tidak jelas alasannya," kata Denis.
Sementara istri dan anak-anak Denis sedang dalam perjalanan untuk bersatu kembali dengannya, ibunya memutuskan untuk menyeberang kembali ke Ukraina.
Ia tidak ingin jauh dari suami dan dua putra lainnya, yang mungkin akan segera menerima panggilan untuk bela negara.
"Ayah saya bertempur di Afghanistan dan ia tahu seperti apa perang itu. Ia siap mengorbankan hidupnya untuk Uni Soviet. Sekarang ia siap mengorbankan hidupnya untuk Ukraina melawan kekuatan baru Rusia. Ini sebuah paradoks, tapi semua orang bisa melihat apa yang dilakukan Rusia. Mereka merebut Krimea, Donbass, sekarang mereka menginginkan Kharkiv," kata Denis.
Denis kemudian menyampaikan bahwa kemungkinan ia juga akan bergabung dalam pertarungan.
Namun pertama-tama, dirinya ingin memastikan istri dan anak-anaknya aman terlebih dahulu.
Baca juga: Indonesia Abstain Beri Veto di Dewan Keamanan PBB Soal Invasi Rusia ke Ukraina, Ini Penjelasan Kemlu
Dalam satu atau dua minggu ke depan, kata dia, jika musuh semakin mendekat ke kampung halamannya di Chernivtsi, ia harus mengangkat senjata.
"Jika mereka semakin dekat ke rumah kami, kami harus kembali dan bertarung. Selama bertahun-tahun, kami telah bekerja untuk membangun negara yang bahkan jika beberapa dari kami pergi, yang lain harus tetap tinggal. Jika semua orang pergi, siapa yang akan membela negara kami?," tegas Denis.
Untuk paruh pertama pada Jumat lalu, ada lebih banyak orang yang menyeberang ke Ukraina dibandingkan yang terlihat meninggalkan perbatasan.
Ini tampak seperti sebuah paradoks yang membingungkan pada saat berlangsungnya eksodus massal.
Pengungsi Ukraina juga mengeluhkan sejumlah hal, mulai dari kurangnya makanan yang tersedia di jalur antara Ukraina dan Polandia hingga cuaca dingin yang parah di wilayah tersebut.
Di tengah kekacauan yang terjadi di perbatasan, para sukarelawan membagikan air, pakaian hangat, dan selimut kepada para wajib militer yang menyeberang ke Ukraina untuk bergabung dalam pertempuran.
Baca juga: Grup Media Ukraina Bersatu Desak Dunia Matikan Channel Rusia
Perlengkapan tersebut juga akan memungkinkan wanita dan anak-anak yang terdampar diantara Polandia dan Ukraina untuk bertahan hidup di hari yang sangat dingin.
Karena mereka masih menunggu kesempatan untuk bisa selamat.
Yelena, seorang pengungsi berusia 43 tahun merupakan salah satu sukarelawan yang membagikan barang-barang tersebut.
Ia tiba di Polandia hampir setahun yang lalu dari Belarus.
Saat dirinya mengetahui bahwa Rusia telah meluncurkan invasi besar-besaran terhadap Ukraina, dirinya tidak ingin tinggal diam.
"Saya ingin ikut perang, penjaga perbatasan Polandia membiarkan saya lewat, namun orang Ukraina tidak. Anda tahu mengapa? Karena saya memiliki paspor Belarus," kata Yelena.
Perlu diketahui, Belarus merupakan negara yang ikut ambil bagian mendukung Rusia dalam invasi ini.
Ia menegaskan bahwa saat ini semua jenis bantuan dibutuhkan di sana, dan ia adalah salah satu orang yang ingin membantu, terlepas dari paspor yang ia miliki.
Baca juga: Wanita Ukraina Ini Daftar Jadi Tentara Amatir untuk Perang Lawan Rusia: Saya Lelah Hanya Ketakutan
"Seseorang harus memasak, seseorang harus merawat yang terluka. Saya bahkan mencoba menyeberang untuk kedua kalinya, namun tidak berhasil," jelas Yelena.
Yelena kemudian menyampaikan bahwa akhirnya dirinya terpaksa menghancurkan paspor Belarus-nya sebagai aksi protes terhadap perang dan bergabung dengan sukarelawan Ukraina serta Polandia di perbatasan.
"Saya merasa malu untuk Belarus, Ukraina harus memenangkan perang ini, Slava Ukraini (Kemuliaan bagi Ukraina)," tegas Yelena.
Ia pun melanjutkan tugasnya, memberikan selimut dan beberapa botol air kepada seorang pria muda yang memasuki perbatasan menuju Ukraina.
Selanjutnya, ada pengungsi bernama Olga yang menunggu pada antrian yang sama.
Wanita berusia 33 tahun itu tampak lebih menonjol diantara kerumunan lainnya, karena ia mengenakan mantel yang panjang dan modis dengan pola unik serta potongan rambut sempurna yang menarik perhatian.
Olga dan pacarnya, Sergey, sedang menunggu penerbangan untuk kembali ke Ukraina di bandara di Vilnius, Lithuania, saat mereka mendengar tentang perang yang sedang berlangsung di tanah air mereka.
"Kami pergi ke Lithuania untuk berakhir pekan dan kami terjebak di sana, penerbangan pulang pun dibatalkan. Selama beberapa jam pertama, kami tidak dapat memahami apa yang sedang terjadi, kami tidak dapat mempercayainya," kata Olga yang berprofesi sebagai make up artist itu.
Ia kini berharap bahwa setelah kembali ke Ukraina, dirinya akan dapat menjadi sukarelawan ssbagai perawat di rumah sakit.
Olga mengaku ingin membuat dirinya berguna bagi negaranya.
Sedangkan sang kekasih, Sergey yang berusia 38 tahun dan memang dalam usia yang cocok untuk wajib militer, selama ini bekerja sebagai pekerja kantoran dan tidak pernah memegang senjata sekalipun.
Namun jika keterampilannya tidak cukup untuk mendukung perjuangan, dirinya bisa mempelajarinya.
"Apapun yang diperlukan untuk membantu negara," jelas Sergey.
Sergey memang mengaku takut pada peperangan, namun ia menekankan bahwa tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk tinggal di tempat lain di Eropa, selain Ukraina.
"Hanya ada satu Ukraina dan kami tidak bisa kehilangannya. Ini adalah tanah air kami dan tidak akan pernah menjadi Rusia," tegas Sergey.
Pasangan itu membutuhkan waktu dua hari untuk pergi dari Vilnius ke perbatasan.
Semua bus di rute itu telah dibatalkan dan tidak ada kereta pula.
Pada akhirnya, warga Lithuania mau mengantarkan mereka langsung ke Medyka.
Sumber: https://www.aljazeera.com/news/2022/2/27/ukraine-poland-border-refugees-medyka-russia-invasion