TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang dua negara Rusia Vs Ukraina mulai melebar hingga ke persoalan ekonomi.
Bahkan dampaknya tak hanya akan dirasakan kedua negara itu.
Perekonomian dunia juga diprediksi akan kena getahnya, termasuk Indonesia.
Sanksi ekonomi yang diberikan Barat (Amerika dan sekutunya) terhadap Rusia tak hanya berdampak ke Rusia.
Bahkan Rusia membalas sanksi itu dengan kebijakan yang tak kalah tegasnya.
Harga Minyak
Sanksi ekonomi yang paling berat dirasakan oleh penduduk dunia adalah sanksi impor minyak dari Rusia.
Terbukti, harga minyak mentah mengakhiri perdagangan pada Selasa (8/3/2022) lebih tinggi sekitar 4% mengikuti keputusan terbaru Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris atas impor minyak dari Rusia.
Baca juga: Buntut Invasi di Ukraina, McDonalds hingga TikTok Angkat Kaki dari Rusia
Mengingat Rusia merupakan produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia, keputusan Pemerintah AS dan Inggris diprediksi akan semakin mengganggu pasar energi global.
Harga minyak telah melonjak lebih dari 30% sejak Rusia menginvasi Ukraina, dan AS serta negara-negara sekutunya menjatuhkan serangkaian sanksi.
Ekspor minyak dan gas Rusia sudah dijauhi sebelum larangan itu, karena para pedagang berusaha menghindari pelanggaran sanksi di masa depan.
Berdampak ke Indonesia?
Pejabat Bank Dunia menyebutkan kenaikan harga minyak yang terjadi terus-menerus di tengah perang bisa menghambat pertumbuhan negara pengimpor minyak, seperti China, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki.
Dalam pengarahannya Selasa (9/3/2022), Wakil Presiden Bank untuk Pertumbuhan yang Merata Indermit Gill mengatakan perang akan menyebabkan kemunduran lebih lanjut terhadap pertumbuhan untuk pasar negara berkembang yang sudah tertinggal.
Pertumbuhan yang sangat lambat juga akan sangat terasa di negara yang masih tertinggal dalam upaya pemulihan dari pandemi Covid-19 serta berjuang di tengah gempuran utang dan inflasi.
"Perang telah memperburuk ketidakpastian itu, merugikan orang-orang yang paling rentan di tempat-tempat yang paling rapuh.Terlalu dini untuk mengatakan sejauh mana konflik akan mengubah prospek ekonomi global," ungkap Gill, seperti dikutip Reuters.
Sejauh ini, beberapa negara di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika dan Eropa sangat bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk makanan. Dua negara yang tengah berkonflik tersebut menyumbang lebih dari 20% ekspor gandum global.
Menurut Gill, perkiraan Bank Dunia nantinya akan menunjukkan kenaikan harga minyak sebesar 10% yang berlangsung selama beberapa tahun dapat memotong pertumbuhan di negara berkembang pengimpor minyak.
Sebagai catatan, harga minyak naik lebih dari dua kali lipat selama enam bulan terakhir.
"Jika ini berlangsung, minyak bisa memangkas persentase pertumbuhan penuh dari importir minyak seperti China, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki," kata Gill.
Gill menambahkan, Afrika Selatan diperkirakan akan tumbuh sekitar 2% setiap tahun pada 2022 dan 2023 sebelum perang pecah di Eropa.
Sementara Turki seharusnya bisa tumbuh 2%-3%, sedangkan China dan Indonesia masing-masing diprediksi tumbuh 5%.
Krisis Kelaparan
Invasi Rusia ke Ukraina juga dikhawatirkan akan berdampak pada inflasi pangan yang mengarah ke krisis besar-besaran.
Bahkan, efek perang ini berpotensi melampaui pukulan pandemi dan mendorong jutaan orang lagi kelaparan.
Seperti diketahui, Rusia dan Ukraina menyumbang sebagian besar dari pasokan pertanian dunia, mengekspor begitu banyak gandum, jagung, minyak bunga matahari, dan makanan lain sehingga menambah lebih dari sepersepuluh dari semua kalori yang diperdagangkan secara global.
Sekarang, pengiriman dari kedua negara hampir mengering.
Mengutip Bloomberg pada Rabu (9/3/2022), gandum telah naik sekitar 50% dalam dua minggu dan jagung baru saja menyentuh level tertinggi satu dekade.
Biaya yang melonjak pada akhirnya dapat membebani mata uang di pasar negara berkembang, di mana makanan mewakili bagian yang lebih besar dari keranjang harga konsumen.
Krisis ini tidak hanya berdampak pada ekspor biji-bijian, mengingat Rusia juga merupakan pemasok utama pupuk.
Hampir setiap tanaman utama di dunia bergantung pada input seperti kalium dan nitrogen, dan tanpa aliran yang stabil, petani akan kesulitan menanam segala sesuatu mulai dari kopi hingga beras dan kedelai.
“Ini kejutan makanan yang luar biasa. Saya tidak tahu situasi seperti ini dalam 30 tahun saya terlibat di sektor ini.” kata Abdolreza Abbassian, analis pasar independen dan mantan ekonom senior di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Di Brasil, pembangkit tenaga pertanian lainnya, petani tidak bisa mendapatkan pupuk yang mereka butuhkan karena pengecer enggan memberikan penawaran harga.
Di China, salah satu importir makanan terbesar di dunia, pembeli membeli jagung dan kedelai AS di tengah kekhawatiran bahwa pengiriman tanaman yang lebih sedikit dari Rusia dan Ukraina dapat memicu perebutan global untuk biji-bijian.
Sementara itu, di Mesir, orang khawatir bahwa harga roti bersubsidi yang mereka andalkan dapat naik untuk pertama kalinya dalam empat dekade, sementara rekaman warga di Turki yang mencoba mengambil kaleng minyak yang lebih murah menjadi viral.
Rusia Siapkan Sanksi Balasan
Rusia memperingatkan Barat pada Rabu (9/3/2022) bahwa pihaknya sedang mempesiapkan sanksi balasan yang yang akan cepat dan terasa di wilayah paling sensitif di Barat.
Ekonomi Rusia menghadapi krisis paling parah sejak kejatuhan Uni Soviet tahun 1991, setelah Barat memberlakukan sanksi yang melumpuhkan pada hampir seluruh sistem keuangan dan perusahaan Rusia menyusul invasi Moskow ke Ukraina.
"Reaksi Rusia akan cepat, bijaksana, dan terasa bagi mereka yang dituju," kata Dmitry Birichevsky, Direktur Departemen Kerjasama Ekonomi Kementerian Luar Negeri, seperti dikutip kantor berita RIA dan dilansir Reuters.
Presiden AS Joe Biden pada Selasa (8/3) memberlakukan larangan impor langsung terhadap minyak Rusia dan energi lainnya sebagai pembalasan atas invasi ke Ukraina.
Rusia memperingatkan awal pekan ini, harga minyak bisa melonjak hingga lebih dari US$ 300 per barel jika Amerika Serikat dan Uni Eropa melarang impor minyak mentah dari Rusia.
Moskow mengatakan, Eropa mengonsumsi sekitar 500 juta ton minyak per tahun. Rusia memasok sekitar 30% di antaranya atau 150 juta ton, serta 80 juta ton petrokimia.
Sumber: Reuters/Bloomberg/Kontan.co.id