TRIBUNNEWS.COM - Presiden AS, Joe Biden, akan mengunjungi Polandia pada Jumat (25/3/2022) nanti.
Rencananya itu bakal dilakukan setelah menggelar pertemuan dengan NATO dan sekutu Uni Eropa.
Demikian diumumkan oleh Gedung Putih, dikutip dari BBC, Senin (21/3/2022).
Di Polandia, Biden akan bertemu dengan Presiden Andrzej Duda di Warsawa.
Biden akan membahas langkah kemanusiaan terhadap perang Rusia dan Ukraina.
“Presiden akan membahas bagaimana Amerika Serikat, bersama Sekutu dan mitra kami, menanggapi krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia yang telah diciptakan oleh perang Rusia. Perang tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan terhadap Ukraina,” kata Gedung Putih, pusat pemerintahan AS.
Senin ini, Biden akan berbicara melalui telefon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Italia Mario Draghi, dan PM Inggris Boris Johnson.
Pada hari Rabu, ia akan melakukan perjalanan ke Brussel untuk menghadiri pertemuan puncak di NATO dan Dewan Eropa, serta pertemuan G7.
Namun, dia tidak memiliki rencana untuk melakukan perjalanan ke Ukraina selama perjalanannya, kata juru bicara Gedung Putih.
Pergerakan Biden
Sebelumnya, Joe Biden memberi tahu Presiden China Xi Jinping tentang implikasi dan konsekuensi jika Beijing memberikan dukungan material kepada Rusia dalam perang di Ukraina.
Hal tersebut disampaikan Gedung Putih setelah kedua pemimpin berbicara dalam panggilan video, Jumat (18/3/2022).
"Biden menggambarkan implikasi dan konsekuensi jika China memberikan dukungan material kepada Rusia karena melakukan serangan brutal terhadap kota-kota dan warga sipil Ukraina," ujar Gedung Putih dalam sebuah pernyataan tentang diskusi tersebut, dilansir Al Jazeera.
Seruan itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran AS bahwa China mungkin datang membantu Rusia, baik memberikan peralatan militer atau melewati sanksi Barat.
Baca juga: Italia Batasi Penggunaan Anti Virus asal Rusia, Kaspersky di Sektor Publik
Baca juga: Pendiri Pertukaran Kripto Kuna Ukraina Tuduh Binance Bekerja Sama dengan Rusia
Xi Jinping Bicara soal Perdamaian
Sementara itu, penyiar China CCTV melaporkan, Xi Jinping mengatakan kepada Biden bahwa hubungan negara ke negara tidak dapat mencapai tahap permusuhan militer.
“Perdamaian dan keamanan adalah harta paling berharga dari komunitas internasional," kata Xi Jinping, seperti dilaporkan CCTV.
Xi Jinping Ingatkan AS untuk Tangani Taiwan dengan Benar
Diberitakan Al Jazeera, Xi Jinping juga mengatakan kepada Joe Biden bahwa masalah Taiwan perlu ditangani secara benar untuk menghindari efek negatif pada hubungan antara kedua negara, menurut media pemerintah China.
China mengklaim Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri sebagai bagian dari wilayahnya dan tidak mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk menguasai pulau itu.
Baca juga: Fakta Lviv, Kota Strategis yang Dibombadir 6 Rudal Rusia, Dekat Polandia hingga Warisan Dunia
Baca juga: Sindir Media Barat, Menlu Rusia Sebut AS dan Sekutunya Mengobarkan Perang Informasi
Washington yang mencari bantuan Beijing dalam memulihkan perdamaian di Ukraina setelah invasi Rusia pada 24 Februari, tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Taipei.
Namun, AS merupakan pendukung internasional terpenting dan pemasok senjata Taiwan.
“Beberapa individu di Amerika Serikat mengirimkan sinyal yang salah kepada pasukan pro-kemerdekaan di Taiwan, dan itu sangat berbahaya,” ujar Xi Jinping kepada Biden selama panggilan video, Jumat.
“Jika masalah Taiwan tidak ditangani dengan baik, maka akan berdampak subversif pada hubungan kedua negara," lanjut Presiden China.
Baca juga: Analis Yakin China Tak Mau Terseret Konflik Rusia-Ukraina demi Kepentingannya
Baca juga: Pesawat Militer Amerika Jatuh di Dekat Perbatasan Rusia
Untuk mengingatkan ancaman Beijing untuk menegaskan klaimnya dengan paksa, kapal induk China Shandong berlayar melalui Selat Taiwan pada Jumat, hanya beberapa jam sebelum Biden dan Xi Jinping berbicara.
Kapal induk itu dibayangi oleh kapal perusak AS.
“(Kami) berharap pihak AS akan memberikan perhatian yang memadai terhadap masalah ini," kata Xi Jinping kepada Biden.
Sementara, Gedung Putih mengatakan, Joe Biden menegaskan kembali dalam panggilan telepon dengan Xi Jinping bahwa kebijakan AS di Taiwan tidak berubah dan menekankan bahwa Washington terus menentang setiap perubahan sepihak terhadap status quo.
Joe Biden Ingin Cegah China Bantu Rusia
Presiden AS Joe Biden berusaha menggunakan panggilan video itu untuk mencegah mitranya dari China membantu Rusia dalam perangnya di Ukraina.
Presiden China Xi Jinping mengatakan kepada Biden bahwa baik AS dan China memiliki tanggung jawab untuk memastikan perdamaian.
Namun, setelah itu, Gedung Putih mengatakan kekhawatirannya atas kemungkinan intervensi Beijing belum diredakan.
"Kami memiliki keprihatinan itu," ungkap Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, Jumat, dikutip dari CNN.
“Presiden merinci apa implikasi dan konsekuensinya jika China memberikan dukungan material kepada Rusia karena melakukan serangan brutal terhadap kota-kota dan warga sipil Ukraina."
"Dan itu adalah sesuatu yang akan kita saksikan dan dunia akan saksikan," jelasnya.
Baca juga: Rudal Rusia Hantam Lviv, Seberapa Penting Kota Ini bagi Ukraina di Tengah Invasi?
Baca juga: Punya Reputasi Tuntaskan Konflik Kamboja, Indonesia Bisa Tengahi Perang Rusia-Ukraina
Sebagian besar diskusi para pemimpin berpusat pada perang di Ukraina dan implikasi krisis terhadap hubungan AS-China dan tatanan internasional, kata seorang pejabat.
Joe Biden tidak membuat permintaan khusus apa pun dari Xi Jinping, kata Gedung Putih.
Namun, sebagai gantinya memilih untuk menawarkan pandangan yang lebih luas tentang situasi internasional.
"China harus membuat keputusan sendiri di mana mereka ingin berdiri dan bagaimana mereka ingin buku-buku sejarah melihat mereka dan melihat tindakan mereka," kata Psaki.
"Itu adalah keputusan yang harus dibuat oleh Presiden Xi," sambungnya.
Pejabat AS dan China akan melanjutkan diskusi dalam beberapa hari mendatang.
Lalu, Joe Biden berencana untuk membahas peran China dengan para pemimpin Barat lainnya pada pertemuan puncak NATO minggu depan di Brussels, Belgia.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Nuryanti)