Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, BRUSSELS - Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengakui dirinya memang menganggap Rusia telah melakukan kejahatan perang setelah melancarkan invasi ke Ukraina.
Kendati demikian, menurutnya, mempertahankan dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tentunya tetap diperlukan.
Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (28/3/2022), ia tidak menampik banyak petinggi dunia yang kini enggan menjalin dialog dengan Putin karena invasi yang dilancarkan negaranya ke Ukraina lebih dari satu bulan lalu.
"Saya sangat percaya bahwa ada kejahatan perang yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina. Di sisi lain, karena kebutuhan, saya juga meyakini bahwa kita harus tetap menjaga dialog dengan Vladimir Putin," cuit Michel dalam akun Twitternya.
Baca juga: Kanselir Jerman Menentang Pengiriman Pasukan Penjaga Perdamaian NATO ke Ukraina
Namun, Michel menegaskan, dunia tidak boleh melupakan bahwa saat ini yang menduduki kursi kepemimpinan di Gedung Kremlin Rusia adalah Putin.
Sehingga ada komunikasi yang harus tetap dijalin dengannya.
"Karena suka atau tidak suka, hari ini dia lah yang sedang duduk di Kremlin," kata Michel.
Zelenskyy Bicara Kepada Media Rusia
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan akibat invasi skala penuh yang dilakukan Rusia terhadap negaranya, kota seperti Volnovakha, Mariupol dan kota kecil lainnya di Wilayah Kiev tidak ada lagi.
Pernyataan ini disampaikannya dalam sebuah wawancara dengan media Rusia.
"Mari kita kembali ke konsekuensi dan hasil untuk kita. Akibatnya apa? tidak ada Mariupol, tidak ada Volnovakha. Tidak ada kota di dekat Kiev di Wilayah Kiev, kota kecil kami. Yang menurut saya, sama seperti milik anda, semua kota di dekat ibu kota biasanya kecil. Namun orang-orang tinggal di sana, ada rumah pondok dan penduduk lokal juga. Semua ini tidak ada lagi, tanah yang hangus, hanya ada tanah yang hangus, sepenuhnya," kata Zelenskyy.
Menurutnya, foto-foto yang diambil di kota-kota tersebut tidak menunjukkan keseluruhan bencana yang terjadi di sana.
Dikutip dari laman Ukrinform, Senin (28/3/2022), Zelenskyy menegaskan bahwa Volnovakha telah dihancurkan sepenuhnya oleh pasukan Rusia karena tidak ada jalan dan rumah yang tersisa.
Baca juga: Intelijen Kiev Sebut Rusia Ingin Pecah Ukraina Jadi Dua Negara Seperti Korea
Begitu pula di Mariupol, dengan populasi sekitar 500.000, 90 persen bangunannya mengalami kerusakan.
"Mereka (Pasukan Rusia) pergi ke sana dan membakar, hanya membakar. Saya bahkan tidak tahu siapa lagi yang diperlakukan seperti itu oleh Tentara Rusia, sebelumnya saya tidak pernah melihatnya. Mungkin, saya masih terlalu muda saat itu, dan perang di Chechnya, saya tidak begitu ingat semua fotonya. Itu mengerikan, tapi maaf, ini adalah skala yang tidak bisa kami bandingkan. Hari ini, ada dua perang sejauh ini," tegas Zelenskyy.
Sementara itu, Kepala Intelijen Militer Ukraina Kyrilo Budanov mengatakan Rusia mencoba memecah Ukraina menjadi dua bagian layaknya Korea yang terpisah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
Dilansir dari Associated Press, dalam pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Ukraina, Minggu (27/3/2022), Kyrilo Budanov mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin menyadari bila mereka tidak bisa menguasai seluruh negara dan kemungkinan akan mencoba membagi Ukraina seperti yang terjadi di Korea.
Baca juga: Bagaimana Mesin Propaganda Ukraina Bekerja saat Rusia Menyerang Mereka?
Hal tersebut mengacu pada perpecahan yang telah berlangsung selama beberapa ekade antara Korea Utara dan Korea Selatan.
"Penjajah akan mencoba menarik wilayah yang diduduki ke dalam satu struktur kuasi-negara dan mengadunya dengan Ukraina yang merdeka," ujar Kyrilo Budanov.
Dia menunjuk pada upaya Rusia untuk mendirikan pmerintahan pararel di kota-kota yang diduduki dan melarang orang menggunakan mata uang Ukraina, hryvnia.
Kyrilo Budanov memperkirakan perlawanan Ukraina akan tumbuh menjadi perang geriliya total dan akan menggagalkan upaya Rusia.
Sementara, seorang pemimpin separatis di Ukraina timur mengatakan wilayahnya, Lugansk, ingin mengadakan referendum atau pemungutan suara untuk bergabung dengan Rusia.
Leonid Pasechnik, pemimpin Republik Rakyat Lugansk dan daerah tetangga Donetsk sejak pemberontakan meletus di sana pada tahun 2014, tak lama setelah Moskow mengintegrasikan Semenanjung Krimea ke dalam wilayah Federasi Rusia menyusul referendum rakyat di Krimea.
Baca juga: Rangkuman Invasi Rusia Hari ke-32: Ukraina Rebut Beberapa Desa, Zelensky Mohon Bantuan Internasional
Moskow mengakui kemerdekaan Donetsk dan Lugansk pada 21 Februari dan kemudian memenuhi bantuan militer kedua wilayah itu dan melancarkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari.
Dalam pembicaraan dengan Ukraina, Moskow mendesak Ukraina untuk mengakui kedaulatan Rusia atas Krimea dan kemerdekaan wilayah Donetsk dan Luhansk atau Lugansk.
Pernyataan Pasechnik ini bisa menandakan pergeseran Posisi Rusia mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut.
Sebelumnya pada 24 Februari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memutuskan untuk memulai invasi skala penuhnya ke Ukraina dan memulai perang.
Pasukan Rusia pun kemudian menembaki dan menghancurkan fasilitas infrastruktur utama, meluncurkan rudal dan serangan udara ke kota-kota serta desa-desa di Ukraina, menewaskan warga sipil.