TRIBUNNEWS.COM, RUSIA - Perang Rusia dengan Ukraina menelan ribuan korban jiwa.
Korban tak hanya datang dari tentara dan warga sipil Ukraina.
Tentara Rusia yang melakukan invasi ke Ukraina juga berguguran.
Sebutlah diantaranya Igor Ivkin.
Remaja berusia 18 tahun ini belum cukup setahun jadi tentara tapi langsung dikirim ke medan perang.
Istrinya blak-blakan kondisi suaminya sebelum jadi tentara.
Yulia Ivkina lebih suka suaminya, Igor Ivkin, jadi seorang tukang kayu ketimbang tentara.
Baca juga: Taliban Disebut Lebih Hebat Dibandingkan Tentara Rusia, Ini Alasannya
Namun saat pandemi Covid-19 menghantam pasar tenaga kerja Rusia, Igor yang baru berusia 18 tahun berpikir realistis.
Menjalani kontrak jangka pendek di ketentaraan adalah pilihan terbaik untuk masa depan keluarganya.
Apalagi, pasangan pengantin baru di kota Pskov itu tengah berusaha punya bayi.
Pada Februari 2021, Igor pun mendaftar jadi tentara, sesaat sebelum Yulia menyadari dirinya hamil.
Sekitar setahun kemudian, Igor tewas terbunuh dalam pertempuran sengit di luar Kharkiv di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
Usia Igor baru 19 tahun.
“Orang-orang dari panitia wajib militer memberi tahu saya tentang kematiannya. Mereka datang pada 20 Maret. Ia dikubur pada 30 Maret di Vorontsovo, desa kelahirannya,” terang Yulia (20), dikutip dari The Moscow Times, Jumat (8/4/2022).
Generasi Putin
Igor Ivkin adalah satu dari setidaknya 25 tentara remaja Rusia yang tewas dalam perang di Ukraina.
Rusia mengakui kehilangan 1.351 personel militer sejak invasi dimulai pada 24 Februari.
Namun sejumlah lembaga independen menunjukkan angka kematian tentara Rusia sebenarnya jauh lebih tinggi.
Tentara remaja Rusia yang tewas di Ukraina termasuk dalam ‘generasi Putin’.
Dia adalah generasi yang lahir di masa kekuasaan Presiden Vladimir Putin selama 22 tahun.
Menurut ahli militer Rusia, Pavel Luhzin, banyak diantara tentara muda tenaga kontrak ini yang kurang pengalaman militer.
Akibatnya, mereka lebih rentan terbunuh di garis depan.
“Saat kau berusia 18 atau 19 tahun, kau tidak takut akan kematian seperti halnya saat kau berusia 25 tahun. Dan dengan banyaknya (hormon) testosteron di darahmu, kau melakukan banyak hal bodoh,” ujar Luzhin.
Jumlah tepat tentara remaja Rusia dirahasiakan.
Namun, tampaknya ada ribuan remaja yang kini tengah berjibaku perang di Ukraina.
Wajib Militer
Banyak diantara tentara remaja ini yang masuk militer karena wajib militer.
Di Rusia, seluruh lelaki di rentang usia 18 hingga 27 tahun wajib mengabdi selama setahun di angkatan bersenjata.
Remaja dari kota besar atau dari kelas menengah atas terbilang mampu menghindari wajib militer dengan mendaftar di universitas, atau membayar suap.
Ini berarti, sebagian besar tentara muda yang direkrut berasal dari kota-kota kecil dan desa di seantero Rusia.
“Dia bilang, menghindari wajib militer bukan pilihan,” ujar Yulia merujuk Igor sang suami.
Tentara Rusia termuda yang tewas di Ukraina berumur 18 tahun.
Ini termasuk Ilya Kubik, yang tewas beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-19.
Ia terbunuh di Ukraina, lebih dari 4.800 kilometer dari kampung halamannya di Bratsk, Siberia.
David Arutyunyan juga bernasib sama.
Pemuda asal Buryatia yang berbatasan dengan Mongolia itu masih 18 tahun saat terbunuh oleh artileri Ukraina.
Beberapa tentara remaja dianugerahi medali.
Arutyunyan menerima medali keberanian anumerta karena dilaporkan menyelamatkan rekannya sesaat sebelum ia tewas terbunuh.
“Tentara Rusia yang tewas dalam perang akan selalu dibingkai sebagai tragis tetapi heroik,” ujar Alyyson Edwards, akademisi Inggris dengan spesialisasi pendidikan militerisme dan patriotik Rusia.
Motivasi para tentara muda ini beragam, mulai dari kebutuhan ekonomi hingga patriotisme.
Yulia menyebut Igor suaminya dipaksa oleh rasa kewajiban.
Para wajib militer dilaporkan diterjunkan berulang kali ke wilayah yang kemudian menjadi bagian sejarah Rusia, kata Luzhin, termasuk di Chechnya di tahun 1990-an dan di Georgia pada 2008.
Bulan lalu, para pejabat Rusia mengakui bahwa ada sejumlah personel wajib militer di Ukraina, tetapi kemudian meralatnya.
Moral yang Runtuh
Dalam beberapa kasus, para wajib militer diterjunkan ke medan perang sebagai hasil perubahan rencana perang, menyusul perlawanan sengit Ukraina hingga rencana ‘operasi militer’ singkat Rusia pun gagal.
Ada pula laporan yang mengungkap keruntuhan moral dan pemberontakan tentara Rusia. Pun, kesulitan logistik.
Yulia mengiyakan hal itu. Ia menyebut, suaminya tak punya cukup makanan. Ia juga jadi saksi ketidakmampuan militer Rusia sebelum meninggal.
“Dia frustrasi karena kekacauan dalam militer, sangat kurangnya disiplin, dan fakta bahwa kerja mereka hanya mengacau saja,” ujarnya.
Beberapa pekan sebelum invasi Rusia dimulai, Igor sempat pulang dari tempat tugasnya di Kursk, dekat perbatasan Ukraina, demi melihat putrinya yang baru lahir.
Namun, empat hari kemudian, ia menerima panggilan harus kembali ke unitnya segera.
“Bayi perempuan kami baru berusia dua minggu,” kisah Yulia mengenang kunjungan terakhir suaminya.
“Bagaimanapun, saya senang dia punya kesempatan melihat dan menggendong putrinya,” pungkasnya.
Taliban Dicap Lebih Hebat
Mantan tentara Inggris yang ikut berjuang di Ukraina memberikan penilaian tersendiri bagi para tentara Rusia yang berperang di Ukraina.
Shane Matthew menyebut Taliban jauh lebih hebat dibanding tentara Rusia.
Ia bahkan mengatakan pasukan yang dikerahkan Presiden Rusia, Vladimir Putin, sangat memalukan untuk dilihat.
Shane Matthew merupakan eks penembak jitu Inggris yang jadi sukarelawan membantu tentara Ukraina menghadapi invasi Rusia.
Shane Matthew mengungkapkan militer Rusia sebagai pasukan yang tak kompeten.
Matthew, 34 tahun, menilai tentara Rusia tak dilatih dengan baik dan tak memiliki perhatian pada strategi.
Ia bahkan mengatakan mereka kerap mabuk-mabukan di garis depan.
“Saya melihat mereka begitu memalukan. Taliban jauh lebih hebat dibanding Rusia, terlepas dari penyebabnya, secara militer mereka tak memiliki pelatihan taktis, jika mereka memilikinya pasti tak digunakan,” katanya dikutip dari Daily Star, Kamis (7/4/2022).
Ia juga mengklaim dirinya melihat adanya bukti terkait kejahatan perang genosida yang dilakukan tentara Rusia.
Matthew mengatakan di Bucha ia menyaksikan jalanan dipenuhi jasad dan seorang anak ditembak di kepala dengan tangan diikat.
Matthew yang sebelumnya merupakan Kopral dari Batalyon ke-2 Resimen Kerajaan Putri Wales, mengungkapkan jurnalis dan unit medis harus menyembunyikan lencana mereka agar tak menjadi target Rusia.
Matthew sendiri sebelumnya berada di Bucha, tetapi biasanya beroperasi di Irpin, dan kerap melihat penembakan yang dilakukan Rusia dan adanya kejahatan perang.
Matthew mengatakan sejumlah tentara Rusia yang ditangkap pada hari-hari pertama penyerangan menyangka mereka sedang melakukan latihan militer di Belarusia.
Ia juga mengatakan pasukan Rusia diorganisir secara kacau dan dikendalikan oleh taktik gerilya Ukraina.
“Kemampuan taktik, peralatan yang digunakan, sangat memalukan untuk dilihat,” ujarnya.
“Peralatan mereka usang dan terlalu sering digunakan, jaringan pasokan mereka diatur dengan tergesa-gesa, non-taktis dan merupakan bencana, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa mereka dikoordinasikan oleh militer di tempat pertama,” tambahnya.
Ia mengungkapkan kemampuan tempur tentara Rusia yang telah ditemuinya sangat buruk.
“Mereka tak memiliki kemampuan melawan serangan secara efektif, tak terorganisir dan sama sekali tak kompeten, tidak memiliki koordinasi di bawah tembakan dan tak memiliki bentuk komando dan kontrol apa pun,” tuturnya.
Sumber: The Moscow Times,AP/Daily Star/Kompas.TV