TRIBUNNEWS.COM - Finlandia dan Swedia dikabarkan akan bergabung dengan NATO dalam waktu dekat di tengah memanasnya invasi Rusia ke Ukraina.
Pembahasan mengenai keanggotaan NATO telah menjadi topik diskusi antara menteri luar negeri kedua negara dan pihak NATO pada pekan lalu.
Diperkirakan, Finlandia akan bergabung dengan NATO pada bulan Juni mendatang, diikuti oleh negara tetangganya, Swedia.
Pembicaraan keanggotaan NATO terjadi setelah Perdana Menteri Finlandia, Sanna Marin mengatakan, sudah waktunya bagi mereka untuk mempertimbangkan kembali sikap negaranya terhadap NATO.
Sementara Perdana Menteri, Swedia Magdalena Andersson, menolak untuk mengesampingkan pertimbangan itu.
Adapun, Finlandia, yang memiliki perbatasan panjang dengan Rusia dan diserang oleh Tentara Merah pada 1939, tidak pernah menjadi anggota aliansi pertahanan Perang Dingin, dan lebih memilih untuk mengatur perlindungannya sendiri.
Namun, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari, jajak pendapat yang dilakukan media Finlandia menunjukkan perubahan opini publik yang cepat dengan mayoritas menyarankan untuk bergabung.
Swedia pun saat ini sedang melakukan peninjauan keamanannya yang akan selesai pada akhir bulan ini, mirip dengan jadwal Finlandia, menurut laporan The Times.
Jika diberikan keanggotaan, aliansi NATO akan meningkat menjadi 32 negara.
Swedia dan Finlandia adalah dua negara terdekat dengan Rusia di Lingkaran Arktik, dengan Kremlin sebelumnya mengancam 'konsekuensi militer' jika keduanya bergabung dengan NATO.
Tapi, PM Finlandia, Sanna Marin menyebut Rusia bukanlah tetangga yang mereka kira.
"Saya pikir kami akan melakukan diskusi yang sangat hati-hati, tetapi kami juga tidak mengambil waktu lebih lama dari yang seharusnya dalam proses ini, karena situasinya, tentu saja, sangat parah," ujarnya, dikutip dari Daily Mail.
Baca juga: Anggota Parlemen Rusia Ancam Finlandia jika Gabung NATO, Ini yang Mungkin Terjadi
Baca juga: Setelah Invasi Ukraina, Rusia Ingatkan Finlandia Bisa Jadi Target Berikutnya
Finlandia telah memilih untuk tetap netral sejak Perang Dunia Kedua, sebagai gantinya, ia memilih untuk bertindak sebagai penyangga antara Timur dan Barat ketika Eropa terpecah selama Perang Dingin.
Hal ini memberinya lebih banyak fleksibilitas dalam kebijakan luar negerinya sambil menghilangkan ketakutan Rusia akan ekspansi Barat.