TRIBUNNEWS.COM - Rusia memperingatkan dunia untuk tidak meremehkan risiko besar perang nuklir serta menyinggung bantuan senjata dari Barat kepada Ukraina.
Kremlin menganggap bahwa senjata konvensional Barat adalah target yang sah di Ukraina, di mana pertempuran sedang berkecamuk di timur.
"Risikonya sekarang cukup besar," kata Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov kepada televisi pemerintah Rusia Senin (25/4/2022), menurut transkrip wawancara di situs kementerian.
"Saya tidak ingin meningkatkan risiko itu secara artifisial. Banyak yang menyukai itu. Bahayanya serius, nyata."
"Kita tidak boleh meremehkannya," ujarnya, dikutip dari Reuters.
Baca juga: Sederet Taktik Amerika demi Melihat Kekalahan Tentara Rusia di Perang Ukraina, Apa Saja?
Baca juga: Rusia Tolak Tawaran Bernegosiasi dengan Ukraina di Mariupol: Mereka Ingin Pentaskan Adegan Memilukan
Lavrov menjawab pertanyaan soal pentingnya menghindari Perang Dunia Ketiga dan apakah situasi saat ini sebanding dengan Krisis Rudal Kuba 1962, titik terendah dalam hubungan AS-Soviet.
Wawancara Lavrov ini dianggap Menteri Luar Negeri Ukraina sebagai bentuk keputusasaan Moskow.
"(Rusia telah kehilangan) harapan terakhirnya untuk menakut-nakuti dunia agar tidak mendukung Ukraina," tulis Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba di Twitter setelah wawancara Lavrov.
"Ini hanya berarti Moskow merasakan kekalahan," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin menjanjikan lebih banyak senjata selama pertemuan di Kyiv, Ukraina pada Minggu (24/4/2022).
Departemen Luar Negeri AS pada Senin menggunakan deklarasi darurat untuk menyetujui potensi penjualan amunisi senilai $165 juta ke Ukraina.
Pentagon mengatakan, paket itu mencakup amunisi artileri untuk howitzer, tank, dan peluncur granat.
Duta Besar Moskow untuk Washington telah mengingatkan pemerintah AS untuk menghentikan pasokan senjata karena dapat mengobarkan konflik.
Lavrov dalam wawancaranya menyebut pengiriman persenjataan Barat ke Ukraina mengartikan bahwa aliansi NATO sebenarnya terlibat perang dengan Rusia.
Baca juga: Polandia Bekukan Puluhan Aset Perusahaan Asal Rusia Mulai Gazprom Hingga Produsen Pupuk Akron
Baca juga: Balas Dendam, Rusia Usir 40 Diplomat Jerman
Moskow memandang senjata-senjata ini sebagai target yang sah.
"Senjata-senjata ini akan menjadi target yang sah bagi militer Rusia yang bertindak dalam konteks operasi khusus," kata Lavrov.
"Fasilitas penyimpanan di Ukraina barat telah menjadi sasaran lebih dari sekali (oleh pasukan Rusia). Bagaimana bisa sebaliknya?"
"NATO, pada dasarnya, terlibat dalam perang dengan Rusia melalui proxy dan mempersenjatai proxy itu. Perang berarti perang," ujarnya, seperti dilaporkan Guardian.
Invasi Rusia ke Ukraina yang sudah berjalan dua bulan, merupakan serangan terbesar di negara Eropa sejak 1945.
Perang ini mengakibatkan ribuan orang tewas dan terluka, kota-kota runtuh, hingga 5 juta warga Ukraina terpaksa mengungsi.
Moskow menyebut tindakannya sebagai "operasi khusus" untuk melucuti senjata Ukraina dan melindunginya dari fasis.
Namun Ukraina dan Barat mengatakan ini dalih palsu untuk perang agresi tak beralasan oleh Presiden Vladimir Putin.
Baca juga: Jelang Pertemuan AS dan Sekutu Soal Penambahan Senjata ke Ukraina, Rusia: Ancaman PD III Makin Nyata
Baca juga: Rusia Tuduh Ukraina Sabot Jalur Evakuasi Warga Sipil dari Mariupol
Rusia hingga kini belum berhasil merebut salah satu kota terbesar Ukraina.
Pasukannya terpaksa mundur dari pinggiran Kyiv karena menghadapi perlawanan keras.
Setelah gagal merebut ibu kota Kyiv, Moskow pekan lalu melancarkan serangan besar-besaran untuk merebut provinsi timur yang dikenal sebagai Donbas.
Jika misi ini berhasil, wilayah Donbas yang dikuasai separatis pro-Rusia akan terhubung dengan Krimea yang dicaplok Moskow pada 2014.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)