Komisioner Pemilihan, George Erwin Garcia, mengaku kewalahan dengan jumlah pemilih yang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara meskipun ada ancaman pandemi.
Secara terpisah, polisi mengatakan tiga anggota pasukan penjaga perdamaian lokal ditembak mati oleh penyerang tak dikenal di dekat tempat pemungutan suara di provinsi Maguindanao di Mindanao.
Dalam beberapa kasus, antrian panjang pemilih disebabkan oleh mesin penghitung suara yang tidak berfungsi, menurut laporan media.
Robredo, yang memberikan suara di provinsi asalnya, Camarines Sur, menyatakan keprihatinannya setelah laporan tersebut.
"Saya berharap pihak berwenang akan menunjukkan bahwa mereka berada di atas segalanya," katanya kepada wartawan.
Marcos didukung banyak pemuda Filipina yang lahir pasca-revolusi 1986, setelah meluncurkan serangan media sosial besar-besaran dalam kampanye optimis yang mengusung nada revisionisme historis.
Pendukungnya telah menolak narasi penjarahan, kronisme dan kebrutalan di bawah darurat militer mendiang ayahnya sebagai kebohongan yang dijajakan oleh lawan, menyajikan apa yang dikatakan para pengkritiknya sebagai versi sejarah yang berbeda.
Baca juga: Putra Diktator Filipina Ferdinand Marcos Diprediksi Menangkan Pilpres, Ini Artinya bagi AS dan China
Baca juga: Menuju Pemilu 9 Mei, Capres Filipina Bersaing Meraih Dukungan Publik
Kubu Marcos telah membantah menjalankan kampanye informasi yang salah.
Keluarga Marcos kembali dari pengasingan pada 1990-an dan sejak itu membangun kekuatan politik, mempertahankan pengaruhnya dengan kekayaan besar dan koneksi luas.
Pemungutan suara juga memberikan kesempatan bagi Marcos untuk membalas kekalahannya dari Robredo dalam pemilihan wakil presiden 2016.
Sementara itu, Robredo (57), mantan pengacara hak asasi manusia yang berhaluan liberal, telah berjanji untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan, memerangi kemiskinan dan meningkatkan persaingan pasar jika terpilih.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)