Perjanjian persahabatan, kerja sama, dan bantuan timbal balik tahun 1948 dengan Rusia mengisolasi Finlandia secara militer dari Eropa barat, meskipun pecahnya Uni Soviet dan keanggotaan UE sejak itu memungkinkannya untuk keluar dari bayang-bayang Rusia.
Sementara itu, oposisi Swedia terhadap keanggotaan NATO lebih bersifat ideologis.
Kebijakan luar negeri Swedia pascaperang berfokus pada dialog multilateral dan perlucutan senjata nuklir.
Swedia telah lama melihat dirinya sebagai mediator di panggung internasional, menurunkan militernya setelah berakhirnya perang dingin.
Kini Swedia telah memperkenalkan kembali wajib militer dan meningkatkan pertahanan sejak Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014.
Namun, sejumlah pihak yang masih curiga terhadap agenda NATO yang dipimpin AS.
Mereka berpendapat bahwa keanggotaan NATO hanya akan meningkatkan ketegangan regional.
- Mengapa sekarang berubah pikiran dan ingin bergabung dengan NATO?
PM Finlandia Sanna Marin, dan PM Swedia Magdalena Andersson, mengatakan April lalu bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah mengubah seluruh lanskap keamanan Eropa.
Invasi itu juga telah membentuk pola pikir secara dramatis di kawasan Nordik.
Pada dasarnya, banyak orang Finlandia dan Swedia semakin merasa bahwa bergabung dengan NATO akan membantu mereka tetap aman ketika mereka menghadapi pemimpin Rusia yang suka berperang dan tidak dapat diprediksi.
Jajak pendapat menunjukkan dukungan publik untuk keanggotaan NATO telah meningkat tiga kali lipat menjadi sekitar 75 % di Finlandia dan melonjak menjadi sekitar 60 % di Swedia.
Keanggotaan NATO berarti bahwa untuk pertama kalinya Finlandia dan Swedia akan mendapat jaminan keamanan dari negara-negara nuklir.
- Apakah NATO menginginkan mereka?