“Kemungkinan akan ada target militer Rusia di Ukraina, di mana serangan nuklir hasil rendah akan menghasilkan korban terbatas,” tambahnya.
Namun, laporan itu menegaskan, serangan tersebut akan memberikan dampak siginifikan, yang membuat NATO kemungkinan harus melakukan beberapa serangan.
“Tetapi, potensi dampak yang bertahan lama dan pandangan dua kekuatan nuklir saling serang di wilayah negara non-nuklir, secara politik tidak layak,” bunyi laporan itu.
“Jadi mungkin sangat aman jika tak menyertakan respons Barat yang seperti itu di Ukraina, menggunakan senjata nuklir,” lanjutnya.
Sekutu Rusia Khawatir Serangan Nuklir
Sekutu terdekat Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan barat tentang risiko jika NATO berkonflik dengan Rusia.
Dilansir Reuters, pasokan senjata kepada Ukraina oleh Amerika Serikat (AS) beserta sekutunya dapat memicu konflik antara Rusia dan aliansi militer tersebut.
Mantan Presiden Dmitry Medvedev, yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, mengatakan konflik seperti itu dengan NATO selalu membawa risiko berubah menjadi perang nuklir besar-besaran.
"Negara-negara NATO memompa senjata ke Ukraina, melatih pasukan untuk menggunakan peralatan Barat, mengirim tentara bayaran dan latihan negara-negara Aliansi di dekat perbatasan kita meningkatkan kemungkinan konflik langsung dan terbuka antara NATO dan Rusia," kata Medvedev dalam sebuah posting Telegram, Kamis (12/5/2022) lalu.
"Konflik seperti itu selalu memiliki risiko berubah menjadi perang nuklir penuh," kata Medvedev.
"Ini akan menjadi skenario bencana bagi semua orang," pungkasnya.
Sejauh ini, Rusia dan Amerika Serikat memiliki kekuatan nuklir terbesar di dunia.
Rusia memiliki sekitar 6.257 hulu ledak nuklir.
Sedangkan tiga kekuatan nuklir NATO; AS, Inggris, dan Prancis memiliki sekitar 6.065 hulu ledak gabungan, menurut Arms Control Association di Washington.