Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Parlemen Sri Lanka akan segera menggelar pemilihan presiden baru Sri Lanka pada 20 Juli untuk mengatasi krisis ekonomi dan politik yang melanda negeri tersebut.
Sebelumnya, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dituntut mundur oleh pengunjuk rasa setelah gagal mengatasi krisis ekonomi yang melanda negara itu.
Dikutip dari Reuters, Selasa (12/7/2022) anggota Parlemen Sri Lanka, Mahinda Yapa Abeywardena mengatakan parlemen akan berkumpul kembali pada hari Jumat (15/7/2022) dan akan memilih presiden baru Sri Lanka lima hari kemudian.
"Selama pertemuan para pemimpin partai yang diadakan hari Senin (11/7), disepakati bahwa ini penting untuk memastikan pemerintahan semua partai yang baru sesuai dengan Konstitusi," kata Abeywardena.
"Partai yang berkuasa telah mengatakan perdana menteri dan kabinet siap mengundurkan diri untuk menunjuk pemerintah semua partai" imbuhnya.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, yang rumah pribadinya dibakar oleh pengunjuk rasa juga akan mundur dari jabatannya.
“Ketidakstabilan politik dapat merusak negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket penyelamatan,” kata Nandalal Weerasinghe, gubernur bank sentral Sri Lanka.
Sementara itu, pemimpin oposisi Sajith Premadasa dari partai Samagi Jana Balawegaya, mengatakan siap untuk masuk ke pemerintahan.
"Kami sebagai oposisi siap memberikan kepemimpinan untuk menstabilkan negara dan membangun kembali perekonomian. Kami akan menunjuk presiden baru, perdana menteri dan membentuk pemerintahan.” kata Sajith Premadasa.
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, di Mana Presiden Gotabaya Rajapaksa dan PM Ranil Wickremesinghe?
Di sisi lain, orang-orang Sri Lanka menyalahkan Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata, yang dihantam parah oleh pandemi Covid-19 dan larangan pupuk kimia yang merusak hasil pertanian, tetapi larangan itu kemudian dibatalkan.
Keuangan pemerintah Sri Lanka juga dilumpuhkan oleh hutang yang menumpuk dan potongan pajak yang diberikan oleh rezim Rajapaksa. Cadangan devisa dengan cepat habis karena harga minyak naik.
Baca juga: Oposisi Sri Lanka Rancang Pemerintahan Baru Pasca Mundurnya Presiden dan Perdana Menteri
Negara ini hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat, dan antrean panjang terjadi di depan toko-toko yang menjual gas untuk memasak.
Inflasi Sri Lanka bulan lalu mencapai 54,6 persen, dan bank sentral telah memperingatkan bahwa itu bisa naik menjadi 70 persen dalam beberapa bulan mendatang.