TRIBUNNEWS.COM - Berikut dua negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang terancam bangkrut menyusul Sri Lanka.
Sebelumnya, Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe menyatakan Sri Lanka bangkrut.
Sri Lanka menderita krisis keuangan terburuk dalam beberapa dekade.
Hal ini membuat jutaan orang berjuang untuk membeli makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.
Wickremesinghe mengatakan kepada anggota parlemen bahwa negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menghidupkan kembali ekonomi "runtuh" negara itu sulit.
Sebab, negara Asia Selatan berpenduduk 22 juta itu telah memasuki pembicaraan sebagai negara bangkrut, bukan negara berkembang.
"Kami sekarang berpartisipasi dalam negosiasi sebagai negara bangkrut. Oleh karena itu, kami harus menghadapi situasi yang lebih sulit dan rumit dari negosiasi sebelumnya," ujarnya, Selasa (5/7/2022), dilansir CNN.
Sri Lanka ternyata bukan satu-satunya, ada sejumlah negara lain yang saat ini terancam bangkrut.
Dikutip dari World Today News, ada dua negara ASEAN yang terancam bangkrut.
Baca juga: Presiden Gotabaya Rajapaksa Kabur, Sri Lanka Umumkan Keadaan Darurat
Lantas, apa saja dua negara itu?
1. Laos
Negara yang terkurung daratan di Asia Tenggara ini sebenarnya mencatatkan pertumbuhan ekonomi tercepat sebelum pandemi Covid-19.
Namun, sejak pandemi, utang Laos melonjak seperti yang dialami Sri Lanka.
Masalah semakin pelik, karena menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos hanya tersisa kurang dari dua bulan impor.
Mata uangnya turun 30 persen, yang memperburuk kesengsaraan negara itu.
Antrean panjang membeli bahan bakar, harga pangan yang naik dengan cepat, dan ketidakmampuan rumah tangga untuk membayar tagihan bulanan mereka, juga telah menyebabkan kritik publik.
Diberitakan The Diplomat, Selasa (28/6/2022), alasan utama di balik keruntuhan ekonomi Laos adalah korupsi.
Perdana Menteri Phankham Viphavanh telah mengakui sebanyak itu, mengatakan kepada Majelis Nasional bahwa penggelapan oleh eksekutif dan staf.
Hal ini juga dikombinasikan dengan manajemen yang buruk.
“Administrasi perusahaan-perusahaan ini biasanya tidak mengikuti rencana bisnis yang sehat."
"Selain itu, perekrutan eksekutif dan staf sebagian besar didasarkan pada nepotisme, dengan faktor-faktor ini menjadi alasan utama kegagalan manajemen yang mendalam,” kata media yang dikelola pemerintah.
Baca juga: Daftar 9 Negara yang Terancam Bangkrut Seperti Sri Lanka akibat Krisis Ekonomi
Pada akhir tahun lalu, menurut angka Bank Dunia, utang publik Laos mencapai 88 persen dari produk domestik bruto dan utang luar negeri sebesar $14,5 miliar.
Vientiane membutuhkan $1,3 miliar per tahun untuk memenuhi kewajibannya hingga tahun 2025, tetapi hanya memiliki cadangan devisa sekitar $1,2 miliar.
2. Myanmar
Pandemi Covid-19 dan ketidakstabilan politik telah memukul ekonomi Myanmar, terutama setelah kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Myanmar juga terkena sanksi dari Barat, seperti penarikan bisnis besar-besaran.
Kini ekonomi Myanmar diperkirakan mengalami kontraksi minus 18 persen tahun lalu dan diperkirakan tidak akan tumbuh tahun ini.
Lebih dari 700.000 orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik.
Hal ini tentu saja membuat situasi di Myanmar semakin tidak terkendali.
Padahal, Bank Dunia tidak mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.
Diberitakan DW pada 1 Februari 2022, kehilangan pekerjaan tahunan Myanmar pada 2021 berjumlah sekitar 8 persen, atau 1,6 juta pekerjaan hilang.
Hal itu menunjukkan penurunan yang cukup besar dari pekerjaan sebesar 20,5 juta pada 2020.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan dalam laporan Januari 2022, perkiraan tersebut mencakup seluruh angkatan kerja Myanmar, termasuk pekerja ekonomi formal dan informal.
Konstruksi negara, garmen, pariwisata dan industri perhotelan termasuk yang paling terpukul, menurut laporan itu, seperti halnya petani pedesaan.
Baca juga: Sri Lanka Bangkrut Akibat Krisis Ekonomi, Indonesia Bagaimana? Ini Kata Menkeu
Selain itu, diperkirakan 25 juta orang (hampir setengah populasi Myanmar) hidup dalam kemiskinan pada akhir 2021.
Lalu, sebanyak 14,4 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, lapor ILO.
Sementara, Bank Dunia mengatakan dalam laporan Januari bahwa ekonomi Myanmar sekitar 30 persen lebih kecil daripada yang mungkin terjadi tanpa adanya pandemi dan kudeta militer.
Sanksi internasional, penghentian bantuan asing, dan penarikan investor asing telah mendorong Myanmar ke jurang kehancuran ekonomi.
Gejolak politik yang sedang berlangsung dan konflik antara militer dan kelompok perlawanan bersenjata juga telah memperumit tantangan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat dari pandemi.
Bahkan, bisnis di seluruh Myanmar dilaporkan menghadapi kebangkrutan.
Baca juga: Presiden Sri Lanka Sekeluarga Kabur ke Maladewa, Diduga akan Lanjutkan Perjalanan ke UEA
Jutaan orang, termasuk pegawai negeri sipil dan pekerja sektor swasta, telah bergabung dengan gerakan anti-kudeta pembangkangan sipil Myanmar, menolak membayar tagihan listrik dan pajak sampai militer digulingkan.
Bisnis, terutama pabrik, juga mengalami pemadaman listrik setiap hari.
Karena sebagian besar pembangkit listrik Myanmar bergantung pada tenaga air, musim kemarau akan menjadi tantangan tambahan.
(Tribunnews.com/Nuryanti)