TRIBUNNEWS.COM - Bentrokan antar geng di ibu kota Haiti, Port-au-Prince telah menewaskan sedikitnya 89 orang, menurut laporan kelompok HAM pada Rabu (13/7/2022).
Kerusuhan antara dua geng di kawasan kumuh Cite Soleil, di ibu kota mulai meletus pada 7 Juli 2022 lalu.
Dilansir CNN, Wali Kota setempat Joël Janeus mengatakan bahwa para geng bersaing untuk memperebutkan kendali.
Pertarungan yang telah berlangsung selama sepekan itu membuat polisi kewalahan karena kekurangan personel serta alat yang tidak memadahi.
Ribuan keluarga yang tinggal di daerah kumuh tidak punya pilihan selain bersembunyi di dalam rumah.
Alhasil mereka tidak bisa mengambil makanan atau air untuk bertahan hidup.
Baca juga: AS Dakwa Seorang Pria Haiti atas Pembunuhan Presiden Jovenel Moise
Bahkan puluhan penduduk menjadi korban peluru nyasar karena kebanyakan rumah hanya terbuat dari lembaran logam.
"Setidaknya 89 orang tewas dan 16 lainnya hilang dalam kekerasan sejak minggu lalu," kata Jaringan Pertahanan Hak Asasi Manusia Nasional dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Arab News.
Pihaknya juga mencatat ada 74 orang yang menderita luka tembak dan pisau.
Mumuza Muhindo, kepala misi lokal Doctors Without Borders, pada Rabu kemarin mendesak semua kombatan mengizinkan petugas medis mengakses Brooklyn, sebuah area di Cite Soleil yang paling terkena dampak kekerasan.
Meski berbahaya, kata Muhindo, pihaknya telah mengoperasi rata-rata 15 pasien dalam sehari sejak Jumat lalu.
Ia mengaku rekan-rekannya melihat mayat yang terbakar dan membusuk di sepanjang jalan menuju lingkungan Brooklyn.
Mereka diduga anggota geng yang tewas dalam bentrokan atau orang yang mencoba melarikan diri.
“Ini medan perang yang sebenarnya,” kata Muhindo.
“Tidak mungkin memperkirakan berapa banyak orang yang terbunuh.”
Cite Soleil adalah pusat terminal minyak yang memasok ibu kota dan seluruh Haiti utara, sehingga bentrokan tersebut berdampak buruk pada ekonomi kawasan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
SPBU di Port-au-Prince tidak memiliki gas untuk dijual, menyebabkan harga di pasar gelap meroket.
Haiti menderita ketidakstabilan keamanan selama bertahun-tahun.
Setelah mantan presiden Jovenel Moïse dibunuh pada Juli tahun lalu, penggantinya Ariel Henry bersumpah untuk meningkatkan keamanan.
Kendati demikian, penculikan dan kekerasan geng terus terjadi di negara Karibia itu.
Para geng itu melakukan penculikan massal yang menyasar warga biasa hingga orang asing.
Didorong oleh kelambanan polisi, geng-geng menjadi semakin berani dalam beberapa pekan terakhir.
Setidaknya 155 penculikan terjadi di bulan Juni, dibandingkan dengan 118 di bulan Mei, menurut laporan yang dirilis oleh Pusat Analisis dan Penelitian Hak Asasi Manusia yang dirilis Rabu.
Baca juga: Rugi 150.000 Barel Per Hari, Irak Gagal Genjot Ekspor Minyak di Tengah Krisis Energi
Baca juga: Baku Tembak di Rumah Irjen Ferdy Sambo, Kompolnas: Korban Kekerasan Seksual Harus Dilindungi
Kemiskinan dan kekerasan yang meluas menyebabkan banyak warga Haiti melarikan diri ke Republik Dominika atau ke Amerika Serikat.
Tanpa mengantongi visa atau uang, mereka akan mempertaruhkan hidup dengan naik perahu demi mencapai Florida.
Sayangnya banyak yang berakhir di Kuba atau Bahama, atau dihentikan di laut oleh otoritas AS dan terpaksa kembali ke rumah.
Hampir setengah dari 11 juta penduduk Haiti menghadapi kekurangan pangan, termasuk 1,3 juta yang menghadapi darurat kemanusiaan, yang mendahului kelaparan, menurut perhitungan PBB.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)