TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Ukraina, AS dan sekutu Eropa serta media arus utama barat pernah mengglorifikasi apa yang disebut “Bucha Massacre” atau “Pembantaian Bucha”.
Istilah itu ditujukan ke peristiwa yang terjadi di kota Bucha, Ukraina, sesaat setelah pasukan Rusia menarik diri dari pinggiran Kiev, ibu kota Ukraina pada April 2022.
Pasukan Rusia ditarik mundur dari pengepungan Kiev, menyusul tanda-tanda baik negosiasi Rusia-Ukraina di Istanbul, Turki.
Rusia memindahkan konsentrasi pasukan dan operasi militernya ke Ukraina timur, guna membebaskan wiayah Donbass.
Baca juga: Tokoh Inggris Nick Griffin Ungkap Fakta-fakta Ganjil Klaim Pembantaian Bucha di Ukraina
Baca juga: Media China Sebut Temuan Mayat di Bucha Sebagai Pertunjukan Ukraina
Baca juga: Eks Perwira Marinir AS Ungkap Sejumlah Kejanggalan Tragedi Bucha: Propaganda untuk Sudutkan Rusia?
Peristiwa Bucha seperti dipamerkan Presiden Volodymir Zelensky, memperlihatkan kerusakan hebat di sepanjang jalan di tengah kota itu.
Tubuh manusia bergelimpangan di jalan dan tepi-tepi jalan serta depan beberapa rumah penduduk. Kendaraan tempur berserakan terkena bom dan terbakar.
Zelensky dan lalu diamplifikasi pemimpin barat, menuduh pasukan Rusia melakukan pembantaian di Bucha.
Moskow menolak tuduhan itu. Sebaliknya menyebut pasukan Ukraina membuat provokasi lewat operasi palsu untuk mendiskreditkan Rusia.
Kremlin mengajak dunia internasional melakukan penyelidikan atau investigasi yang imparsial di Bucha.
Namun Ukraina, Inggris dan sekutu barat menolak mentah-mentah gagasan penyelidikan kasus Bucha.
Sekarang, mantan tentara Prancis, relawan kemanusiaan, dan seorang penulis, Adrien Bocquet, memberikan testimonia pa yang pernah disaksikannya di Ukraina.
Dikutip Sputniknews, Selasa (2/8/2022), Bocquet mengatakan dia menyaksikan persiapan provokasi dan operasi palsu di Bucha pada April.
Adrien Bocquet melakukan perjalanan ke Ukraina dua kali pada April dalam misi mengirimkan bantuan kemanusiaan, peralatan medis, dan obat-obatan.
Dia mengunjungi perbatasan Polandia-Ukraina dan pinggiran kota Kiev di Bucha, mengamati tahanan Rusia yang disiksa dan dibunuh.
Ia juga mengaku melihat para petempur Ukraina menyiapkan panggung untuk membingkai pembantaian sipil Bucha lewat operasi bendera palsu.
Menurut Bocquet, penyiksaan dan pembunuhan tawanan perang Rusia terjadi di sebuah hanggar di bagian utara Bucha pada awal April.
Saat itu militer Ukraina menguasai kembali kota tersebut yang semula diduduki pasukan Rusia sebelum mundur.
“Ketika saya berbicara tentang pembunuhan dan penyiksaan, saya berbicara tentang pembunuhan dan penyiksaan terhadap militer Rusia,” katanya.
“Tentara (Rusia) adalah yang pertama dieksekusi. Saya mendengar teriakan ketika petempur Azov bertanya siapa petugas itu. Begitu mereka mendapat jawaban, mereka langsung menembak orang itu di kepala,” beber Bocquet.
“Yang terburuk adalah saya tidak melihat sikap manusia, tidak ada emosi, karena saya melihat orang dieksekusi, orang disiksa, orang dibunuh, tertembak di anggota badan, kepala,” lanjut Bocquet.
Bocquet mengaku ia sering berinteraksi dengan Angkatan Bersenjata Ukraina dan pejuang Azov selama di Ukraina.
Ia terkejut saat menyaksikan perlakuan tidak manusiawi mereka terhadap orang Rusia, Yahudi, dan orang-orang dari ras lain.
“Saya harus banyak berpura-pura untuk menghindari menunjukkan pendapat dan emosi saya dan di atas semua itu untuk tidak menunjukkan ketidaksetujuan dengan pendapat mereka,” katanya.
Ketidaksetujuan dengan ideologi Nazi mereka, terutama ketika mereka menyatakan sikap terhadap orang Yahudi dan orang kulit berwarna, karena mereka membuat pernyataan yang sangat kejam.
“Pertama-tama, saya berbicara tentang kebencian terhadap orang Rusia, karena mereka memanggilnya “Anjing Rusia,” ujar Bocquet.
Para petempur Batalyon Azov, menurutnya selalu mendapat tugas menyiksa dan membunuh apa yang mereka sebut “Anjing Rusia”.
Sebagai mantan tentara, Bocquet mengaku terkejut. Karena semuanya menunjukkan tujuan utama mereka adalah menyiksa dan membunuh.
“Sementara mereka bahkan tidak pernah berbicara tentang pembebasan populasi mereka,” kenang relawan itu.
Selanjutnya, ia menyaksikan persiapan untuk provokasi operasi bendera palsu di Bucha, yang pada waktunya akan menuduh militer Rusia sebagai pembantai warga sipil Bucha.
“Ketika kami memasuki Bucha dengan mobil, saya berada di kursi penumpang. Saat kami melewati kota, saya melihat mayat orang di sisi jalan,” ungkapnya.
“Pada saat yang sama saya melihat mayat orang dibawa keluar dari truk dan dibaringkan di samping mayat yang tergeletak di tanah untuk memberikan efek pembunuhan massal,” lanjut Bocquet.
Dia menambahkan ada wartawan di dekatnya yang segera mulai merekam begitu tumpukan mayat terbentuk.
“Salah satu relawan yang berada di tempat ini sehari sebelumnya --saya tekankan saya tidak menyaksikan ini-- mengatakan (sesuatu) kepada saya,” katanya.
“Dia mengatakan kepada saya sehari sebelumnya dia melihat truk berpendingin dari kota lain di Ukraina datang ke Bucha dan menurunkan mayat dan meletakkannya berbaris. Dari sini saya menyadari mereka sedang melakukan pembantaian massal,” kata orang tersebut.
Bocquet mencatat baik sukarelawan maupun penduduk setempat ditekan dan diancam dengan hukuman penjara dan pembalasan untuk menghindari publisitas yang buruk.
“Kami mendistribusikan obat-obatan, antara lain yang mengandung narkotika, pereda nyeri, yang mengandung morfin. Mereka memberi tahu kami secara terbuka: jika Anda tidak berbagi dengan kami, Anda tidak akan mencapai tujuan yang Anda tuju,” kata Bocquet mengutip omomngan penduduk.
Ia ingat jelas relawan harus mengantarkan obat penghilang rasa sakit ini ke rumah sakit anak-anak, dan ia diberitahu jika mereka tidak berbagi, mereka tidak akan pernah sampai di sana (Bucha).
“Ketika kami di dekat Bucha, kami dikawal penjaga militer, mereka adalah pejuang Azov. Mereka mengantar kami ke salah satu hanggar dan menyuruh kami menyiapkan kotak terpisah berisi obat-obatan yang mengandung morfin agar kami bisa mengemudi,” kata Bocquet.
Selanjutnya, para relawan dilarang mengambil foto dan video.
“Kami diperingatkan (jika kami mengambil foto atau video) kami akan mendapatkan hukuman penjara selama sepuluh tahun atau konsekuensi yang lebih berat,” katanya.
Larangan ini juga berlaku untuk penduduk setempat. Tekanan ini diberikan oleh militer, terutama orang-orang Azov.
“Hari ini, Eropa tidak mengerti betapa besar tekanan pada penduduk Ukraina,” kata pria Prancis itu.
Dia mengakui dirinya mulai menerima ancaman setelah dia mulai berbicara tentang kejahatan pejuang Ukraina.
Dia juga mengungkapkan kekhawatiran dia akan dianiaya oleh pihak berwenang Prancis.
“Tentu saja, saya takut akan hal itu, saya takut mereka akan mengarang beberapa hal terhadap saya untuk membungkam saya atau memasukkan saya ke penjara,” pungkasnya.
Pada awal April, media dan jejaring sosial Ukraina menerbitkan foto dan video mayat tergeletak di jalan-jalan, yang diduga diambil di Bucha setelah militer Rusia mundur.
Pihak berwenang Kiev menuduh Rusia membantai warga sipil. Kabar itu diamplifikasi media arus utama barat lalu tersebar global tanpa bisa dibendung.
Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan peristiwa Bucha provokasi dan menekankan tidak ada satu pun penduduk Bucha yang dilukai militer Rusia saat kota itu berada di bawah kendali mereka.
Kementerian juga mencatat semua unit telah ditarik sepenuhnya dari Bucha pada 30 Maret, dan pintu keluar kota ke utara tidak diblokir.
Sementara pasukan Ukraina saat itu menembaki Bucha menggunakan artileri, tank, dan beberapa peluncur roket sepanjang waktu.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, saat itu meminta masyarakat internasional melakukan penyelidikan yang tidak memihak terhadap provokasi di Bucha.
Dia menekankan tegas menolak tuduhan keterlibatan dan menuntut para pemimpin internasional tidak terburu-buru menuduh Rusia.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)