Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ISLAMABAD - Seluruh desa kebanjiran, tanaman rusak, penyakit kini menyebar dan lebih dari 1.000 orang tewas, banjir yang memecahkan rekor di Pakistan memang telah meninggalkan jejak bencana.
Perlu diketahui, curah hujan yang ekstrem bersamaan dengan gletser yang mencair di utara negara itu, telah mempengaruhi sepertiga willayah Pakistan.
Baca juga: Korban Tewas Banjir Bandang Pakistan Naik Jadi 1.282 Jiwa, Sepertiga dari Mereka adalah Anak-anak
Dikutip dari laman ABC News, Selasa (6/9/2022), pola cuaca yang dikenal sebagai Monsun Asia Selatan pun turun di negara itu setiap tahun antara Juni hingga September, bahkan sering kali membawa hujan yang sangat dibutuhkan setelah musim panas.
Namun penelitian menunjukkan musim hujan tahunan kini semakin basah dan lebih berbahaya karena dampak dari perubahan iklim.
"Banjir membawa ciri-ciri perubahan iklim. Jika iklim lebih hangat, maka anda memiliki curah hujan yang lebih intens dan gletser lebih cenderung mencair serta runtuh lebih cepat, kedua hal itu datang bersamaan dalam peristiwa tragis di Pakistan ini," kata Ilmuwan Iklim CSIRO, Michael Grose.
Baca juga: PBB: Banjir yang Hancurkan Pakistan Bisa Perburuk Ketahanan Pangan di Afghanistan
Dalam waktu 3 bulan, hingga Agustus tahun ini, Pakistan telah menerima hampir tiga kali lebih banyak hujan dibandingkan rata-rata 30 tahun.
Dr Grose mengatakan analisis yang cermat diperlukan untuk sepenuhnya menentukan dampak perubahan iklim terhadap banjir yang terjadi baru-baru ini, dan untuk memahami bagaimana iklim yang memanas dapat memengaruhi curah hujan di sepanjang musim.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa tidak ada yang meragukan pengaruh perubahan iklim terhadap apa yang telah terjadi.