TRIBUNNEWS.COM - Oposisi Rusia menyerukan protes atas keputusan Presiden Vladimir Putin memerintahkan mobilisasi 300.000 tentara cadangan untuk berperang di Ukraina.
Sebelumnya, pada Rabu (21/9/2022), Putin memerintahkan mobilisasi militer pertama Rusia sejak Perang Dunia II dan mendukung rencana pencaplokan sebagian wilayah Ukraina.
Presiden juga memperingatkan Barat bahwa Rusia siap menggunakan senjata nuklir untuk melawan.
Pemimpin oposisi Kremlin, Alexei Navalny mengatakan bahwa Putin berencana mengirim lebih banyak warga Rusia untuk mati di medan perang.
"Jelas bahwa perang kriminal semakin buruk, semakin dalam, dan Putin berusaha melibatkan sebanyak mungkin orang dalam hal ini," kata Navalny dalam pesan video dari penjara yang direkam dan diterbitkan oleh pengacaranya.
"Dia ingin mencoreng ratusan ribu orang dengan darah ini," tegasnya, dikutip dari Reuters.
Baca juga: Korea Utara Bantah Pasok Senjata atau Amunisi ke Rusia, Tegaskan Tak Berniat Lakukan di Masa Depan
Sejak memulai invasi Ukraina pada 24 Februari, Kremlin menindak perbedaan pendapat dan media yang bertentangan dengan pemerintah.
Ribuan demonstran ditangkap karena protes anti-perang dan undang-undang baru memberikan ancaman hukuman penjara 15 tahun bagi pihak yang menyebarkan "berita palsu" tentang militer.
Televisi pemerintah Rusia juga menyebut kritikus sebagai pengkhianat yang dibayar Barat.
Dalam pidatonya, Putin mengatakan negara itu dalam pertempuran dengan Barat atas Ukraina.
Ia menilai, Ukraina sedang digunakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya dalam upaya untuk menghancurkan Rusia.
Menyusul perintah mobilisasi, kelompok anti-perang Rusia menggelar aksi protes di jalanan.
"Ini berarti bahwa ribuan pria Rusia, ayah, saudara laki-laki dan suami kita, akan dilemparkan ke dalam penggiling daging perang," kata koalisi anti-perang, Vesna.
"Sekarang perang telah datang ke setiap rumah dan setiap keluarga."