Menyorot kasus Xinjiang, pengamat politik Internasional yang juga Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifudin Zuhri, dalam makalahnya menyebut ada 47 negara Anggota Dewan HAM PBB, 17 di antaranya yang menyetujui dilakukannya debat terkait perilaku China terhadap muslim Uighur berjumlah 17 negara.
"Sedangkan yang menolak, pada dasarnya bukan negara Barat berjumlah 19 negara. Kemudian, 11 negara lainnya menyatakan abstain, "ujar Zuhri.
Dalam materinya, Zuhri juga memetakan kemungkinan yang menjadi sumber konflik antara China dengan Amerika Serikat.
Beberapa topik yang kemungkinan menjadi pemicunya antara lain terkait isu demokrasi dan teritori/ wilayah, persoalan perang dagang AS-China, problem keamanan di Laut China Selatan, hingga teknologi.
Sementara itu, Novi Basuki lebih berbicara pada persoalan akar konflik di Xinjiang.
Penulis buku Islam di China itu menyebut isu Uighur serta campur tangan Barat di Xinjiang sering muncul di permukaan akibat adanya benturan komunisme dengan Islam Uighur.
Novi dalam pemaparannya berusaha membedah cikal bakal penduduk asli Xinjiang.
Dikatakan dia, Inggris dan Rusia menyokong Ya'qub Beg untuk mendirikan negara di Xinjiang Selatan.
"Pendirian negara pada saat itu di era dinasti Qing pada kisaran 1865-1878. Saat dinasti Qing mulai melemah, "paparnya.
Akademisi yang pernah menyelesaikannya studi di Tiongkok menjelaskan secara detail terkait sosio-politik yang terjadi pada waktu itu.
Dia mengungkapkan bahwa Amerika berupaya untuk memainkan kartu pada isu Uighur di Xinjiang.
"China yang komunis saat ini sedang menguat, maka Amerika kemudian memainkan kartu Uighur untuk membendung powershift," tandasnya. (*)