TRIBUNNEWS.COM - Kepala Stasiun Pemadam Kebakaran Yongsan, Choi Seong-beom menuai pujian dari publik Korea Selatan karena dedikasinya saat mengumumkan tragedi Halloween di Itaewon, Seoul.
Etos kerja Choi Seong-beom menjadi perhatian KNetz (netizen Korea) saat ia melakukan konferensi pers pada Minggu (30/10/2022) tentang insiden mematikan dalam perayaan Halloween di Itaewon yang terjadi pada Sabtu sebelumnya.
KNetz menggambarkan sosok Choi Seong-beom sebagai pria yang tampak tangguh di luar namun lembut hatinya.
Dilansir Korea Times, rekaman video memperlihatkan tangan Choi gemetar saat konferensi pers viral di media sosial.
Dalam video itu, Choi sedang menjelaskan apa yang terjadi dan menjawab pertanyaan dari para wartawan.
Choi tampak tenang, namun tangan kirinya yang memegang microphone gemetar.
Baca juga: 4 FAKTA Lee Ji Han, Aktor Korea yang Meninggal Dunia dalam Tragedi Halloween di Itaewon
Pria itu melakukan lima kali konferensi pers dari TKP di distrik Itaewon dari Sabtu (29/10/2022) malam hingga Minggu (30/10/2022) pagi.
"Suaranya tegas dan tenang, tetapi tangannya gemetar, menunjukkan keseriusan tragedi ini," tulis seorang KNetz.
Selama konferensi pers, Choi sempat menegur beberapa orang yang berisik di sekitarnya untuk diam agar pekerja darurat bisa fokus menyelamatkan para korban.
Reaksinya yang blak-blakan itu membuatnya tampak serius dan penuh kasih tentang situasi yang dihadapi.
"Seperti kita, dia juga akan takut, karena para korban menumpuk. Kerumunan yang mengakibatkan lonjakan mayat pasti merupakan situasi yang mengerikan bahkan bagi petugas penyelamat veteran seperti dia," tulis seorang netizen lainnya.
Ramai komentar untuk berterima kasih dengan para petugas penyelamat.
Beberapa KNetz juga mendesak agar ada perawatan khusus untuk para petugas pemadam dan paramedis yang mungkin menderita trauma.
Bersamaan dengan video Choi, postingan anonim seorang petugas polisi juga mendapat banyak perhatian.
Di aplikasi On Blind, penulis anonim yang bekerja di Badan Kepolisian Nasional menceritakan bahwa ia ditugaskan ke Itaewon untuk membantu operasi penyelamatan.
"Ketika saya melihat orang-orang sekarat di depan mata saya, saya mencoba apa pun yang saya bisa, tetapi saya tidak dapat menyelamatkan mereka," tulisnya.
"Saya sangat menyesal saya tidak dapat menyelamatkan lebih banyak orang dan terima kasih kepada para petugas polisi, pemadam kebakaran, petugas medis dan masyarakat umum yang membantu kami."
Pengguna lain mengungkapkan rasa terima kasih mereka atas upaya penyelamatan dan meninggalkan komentar seperti:
"Ini bukan salahmu" dan "Semoga kamu juga mendapatkan perawatan psikologis."
Tragedi ini terjadi pada Sabtu malam ketika kerumunan padat melonjak di gang sempit dan miring di sebelah Hotel Hamilton di daerah Itaewon, Seoul.
Hingga Senin (31/10/2022) pagi, 154 kematian telah dilaporkan dan jumlahnya bisa meningkat karena 33 lainnya masih dalam kondisi serius.
Mayoritas Korban Perempuan
Dari total 154 korban tewas, hampir dua pertiganya adalah perempuan.
Hingga Senin ini, total 98 wanita dipastikan tewas dalam insiden tersebut.
Sementara 56 orang lainnya adalah pria.
Kesenjangan gender yang signifikan telah membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa kecelakaan itu jauh lebih fatal bagi wanita daripada pria.
Rasio gender dalam insiden mematikan itu belum jelas penyebabnya, namun beberapa ahli medis mengatakan kerangka tubuh wanita yang lebih kecil dan kekuatan fisik yang kurang lebih rentan cedera dalam situasi tersebut.
Menurut laporan Korea Herald, penapasan membutuhkan gerakan konstan dari otot-otot pernapasan dan diafragma.
Sehingga mereka yang secara fisik lebih lemah dapat menjadi korban ketika semua orang yang terperangkap berjuang untuk kelangsungan hidup mereka sendiri.
"Kekuatan untuk melawan tekanan bagi perempuan umumnya lebih lemah daripada laki-laki, bersama dengan kemampuan untuk diresusitasi, jadi mungkin itu sebabnya ada lebih banyak korban perempuan," kata Park Jae-Sung, profesor pencegahan kebakaran dan bencana di Soongsil Cyber University.
Kim Won-young, profesor pengobatan darurat di Asan Medical Center, mengatakan bahwa orang secara naluriah menyilangkan tangan mereka untuk membuat ruang bernapas ketika daerah dada mereka di bawah tekanan, sesuatu yang akan lebih sulit dilakukan untuk orang yang lebih lemah di tengah keramaian.
Saksi mata dan kesaksian para penyintas menunjukkan bahwa beberapa pria berhasil melarikan diri dari tempat kejadian ke toko-toko di sekitar, sementara wanita tidak dapat melakukannya.
Hong Ki-jeong, profesor pengobatan darurat di Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul yang bertugas dalam operasi penyelamatan, mengatakan sebagian besar kematian diduga disebabkan oleh serangan jantung yang disebabkan oleh asfiksia.
Sederhananya, orang-orang mati lemas, diremukkan begitu erat sehingga mereka tidak bisa bernapas.
Baca juga: Update Korban Pesta Halloween di Itaewon, Ada 154 Koban Tewas, Ini Rinciannya
Baca juga: Pengertian Crowd Crush, Insiden Desak-desakan yang Sebabkan 154 Orang Tewas di Itaewon
"Ketika (petugas penyelamat) pergi untuk menyelamatkan, sebagian besar (korban) tidak responsif terhadap CPR, mati lemas," katanya kepada media lokal.
"Banyak yang pasti sudah menderita kerusakan otak karena asfiksia, jadi tindakan darurat memiliki efek terbatas."
Waktu kritis untuk serangan jantung adalah dalam lima menit pertama, setelah itu terjadi kerusakan otak.
Setelah 10 menit, kerusakan menjadi permanen.
Dalam kasus Itaewon, waktu kritis telah berlalu bagi sebagian besar korban karena butuh beberapa menit untuk mengeluarkan mereka dari tumpukan mayat.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)