TRIBUNNEWS.COM - Di tengah perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, Gedung Putih menyatakan keprihatinannya karena beberapa masalah luar negeri mendesak yang dihadapi Amerika Serikat (AS) di Eropa, Asia Timur, dan Timur Tengah saling bertumpukan.
Di Asia, misalnya, muncul ketengangan antara China (yang bersekutu dengan Rusia) vs Taiwan (yang didukung Amerika Serikat) dan Korea Utara (Rusia) vs Korea Selatan (AS).
Sedangkan di Timur Tengah, muncul rumor bahwa Iran, sahabatnya Rusia, akan menyerang Arab Saudi dan Irak Utara --dua negara yang dianggap dekat dengan poros AS.
Dari Asia, muncul dua perkembangan terbaru hari ini, Kamis (3/11/2022).
Salah satu negara di Asia, Kamboja, secara terbuka menyatakan akan berada di sisi Ukraina, menerjunkan tentara untuk membersihkan ranjau Rusia.
Sementara itu, Indonesia menyatakan prihatin atas rencana Amerika Serikat untuk mengirim enam pesawat pengebom B-52 berkemampuan nuklir ke sebuah pangkalan udara di Australia utara.
Meletakan enam pesawat berkemampuan nuklir di Australia dianggap sebagai langkah AS menggertak China menyusul ketegangan China-Taiwan.
Keprihatinan Gedung Putih, AS, mengenai kondisi politik global muncul setelah Presiden Joe Biden dilaporkan kehilangan kesabarannya dan meninggikan suaranya saat panggilan telepon dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.
Pasalnya, saat itu Zelensky mendesak Biden agar memberikan lebih banyak bantuan militer setelah Presiden AS menandatangani bantuan tambahan senilai $1 miliar di awal tahun ini.
Biden yang merasa kesal lalu meninggikan suaranya di telepon.
Ia mengingatkan Zelensky tentang kemurahan hati rakyat Amerika dan menegaskan bahwa pemerintahannya serta militer AS sudah melakukan segala upaya untuk membantu Ukraina melawan Rusia.
Pemimpin AS ini juga meminta Zelensky lebih berterima kasih atas bantuan itu.
UPDATE Berita Perang Rusia vs Ukraina
Perspektif AS
Baru-baru ini, pejabat AS menuduh Korea Utara dan Iran memasok senjata ke Rusia untuk memuluskan invasi Ukraina.
Sekretaris Pers Pentagon, John Kirby menyatakan bahwa Pyongyang diam-diam memasok sejumlah besar peluru artileri untuk perang Rusia di Ukraina.
Namun pengiriman itu, kata Kirby, berusaha dikaburkan dengan membuatnya tampak pergi menuju negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kirby juga membahas laporan sebelumnya mengenai dugaan bahwa Iran mengirim drone ke Rusia untuk berperang di Ukraina.
Perfoma drone Iran di medan tempur Rusia vs Ukraina memicu permintaan pembelian dari setidaknya 22 negara.
Kini, Teheran diduga dalam proses pengiriman rudal permukaan-ke-udara untuk digunakan dalam konflik.
Baca juga: Gedung Putih Tuding Korea Utara Secara Diam-diam Pasok Peluru Artileri ke Rusia
Kirby mengaku ada kekhawatiran saat ditanya soal keterlibatan dari tiga negara yang ditampilkan secara menonjol dalam dokumen strategi AS yang baru-baru ini dirilis yang sekarang seolah-olah bekerja sama.
Purnawirawan Angkatan Laut AS ini mengatakan bahwa "ada kekhawatiran yang lebih besar" dari pemerintahan Presiden Joe Biden daripada ketika Presiden Rusia Vladimir Putin pertama kali meluncurkan invasinya di Ukraina pada bulan Februari 2022.
"Sekarang saat dia (Putin) terus kehilangan tempat, kehilangan tentara, kehilangan momentum, dia menjangkau di luar perbatasannya untuk meminta bantuan," kata Kirby, dalam konferensi pers virtual pada Rabu (2/11/2022), dilansir Newsweek.
"Ini adalah tanda isolasi yang terus dia rasakan secara ekonomi, bahwa basis industri pertahanannya sendiri tidak dapat mengimbangi kecepatan dia menggunakan persenjataan di Ukraina."
"Tapi itu juga merupakan tanda betapa dia menggandakan untuk melanjutkan perang ini sehingga dia bersedia keluar dari garis kehidupan, seolah-olah, untuk mencari pemasok asing untuk terus membunuh Ukraina," tambahnya.
"Dan ya, ini mengkhawatirkan bahwa negara bangsa mana pun di seluruh dunia akan secara diam-diam atau nyata mendukung Tuan Putin," jelas Kirby.
Kendati demikian, Kirby menilai dukungan yang dicurigai diterima Moskow dari Pyongyang dan Teheran tidak akan mampu mengubah gelombang konflik.
Namun ia menyebut AS akan mengejar "langkah-langkah pertanggungjawaban yang tepat" terhadap kedua kekuatan itu.
Pernyataan itu muncul di tengah perkembangan bergejolak terpisah di sekitar Korea Utara dan Iran, menunjukkan semakin luasnya cakupan tantangan internasional yang dihadapi pemerintahan Biden.
Pada Selasa lalu, Korea Utara kembali menembakkan rudal dan roket.
Satu dari puluhan rudal yang diluncurkan itu mendarat di dekat perairan Korea Selatan.
Ini menjadi pertama kalinya senjata Korut mendarat sangat dekat dengan Korsel sejak pembagian Semenanjung Korea pada tahun 1945.
Sebagai balasannya, Seoul melesatkan rudal udara-ke-permukaan di utara.
Kemudian pada Rabu (3/11/2022), Pyongyang kembali meluncurkan tiga rudalnya dengan salah satunya diduga rudal balistik antarbenua (ICBM).
Jepang ikut "panas" dengan peluncuran rudal Korea Utara tersebut.
Pyongyang mengaku rudal-rudalnya itu merupakan bentuk peringatan kepada Korsel yang tengah melakukan latihan militer dengan AS.
Korea Utara menjadi salah satu dari sedikit negara yang secara terbuka mendukung tindakan Rusia di Ukraina.
Hubungan antara Pyongyang dan Moskow berkembang menyusul runtuhnya pembicaraan damai Kim Jong Un bersama mantan Presiden AS Donald Trump dan mantan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in pada tahun 2018.
Diplomasi antara AS dan Iran juga gagal diraih, ketika Trump meninggalkan kesepakatan nuklir multilateral yang memberikan keringanan sanksi kepada Republik Islam sebagai imbalan untuk mengekang program nuklirnya.
Sementara Biden mulai merundingkan masuknya kembali Washington ke dalam perjanjian pada April tahun lalu, putaran negosiasi berturut-turut tidak menghasilkan resolusi.
Kini para pejabat AS tidak hanya fokus pada upaya untuk memulihkan perjanjian nuklir, tetapi juga atas protes nasional karena kematian seorang wanita muda dalam tahanan polisi pada bulan September, serta dugaan Iran memasok drone kamikaze ke Rusia.
Pejabat Iran telah membantah melakukan kesalahan atas kematian Mahsa Amini.
Pihaknya juga telah menolak laporan bahwa mereka memasok drone untuk digunakan dalam perang Rusia di Ukraina.
Dibanding Korea Utara, Iran jauh lebih seimbang dalam menyampaikan hal-hal terkait perang Rusia di Ukraina.
Bahkan sempat menawarkan untuk menengahi konflik tersebut.
Ketika AS hendak menghukum Iran atas pasokan dronenya ke Rusia, Washington kembali diguncang dengan laporan ketegangan di Timur Tengah.
Laporan Wall Street Journal pada Selasa (1/11/2022), mengutip pejabat AS dan Saudi yang tidak disebutkan namanya, memperingatkan kemungkinan serangan yang direncanakan oleh Iran terhadap Arab Saudi dan kota Erbil di Irak utara, tempat pasukan AS berada.
Arab Saudi dan AS saling berbagi informasi mengenai kemungkinan serangan tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, membantah laporan AS sebagai "tuduhan tak berdasar".
"Kisah berita yang bias oleh beberapa kalangan Barat dan Zionis bertujuan untuk menciptakan suasana negatif terhadap Republik Islam Iran," kata Kanaani.
Baca juga: AS dan Arab Saudi Saling Tukar Informasi Intelijen soal Ancaman Serangan Iran
Tanggapan Rusia
Rusia sendiri telah membantah menerima senjata dari negara lain.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov juga membantah mengetahui soal dugaan rencana serangan Iran ke Arab Saudi atau Irak.
"Terus terang, kami tidak memiliki informasi sama sekali dan tidak tahu dari mana spekulasi semacam itu berasal," kata Peskov pada Rabu (2/11/2022).
Sementara itu, Rusia mulai vokal dengan masalah di Semenanjung Korea.
Moskow bergabung dengan Beijing dan Pyongyang dalam mengkritik latihan AS-Korea Selatan yang memicu kemarahan Kim.
Baik Beijing maupun Moskow meminta Washington mengurangi sanksi dan membekukan pelatihan militer sebagai imbalan atas konsesi dari Pyongyang.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)