TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son Hui menyebut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai "boneka Amerika Serikat".
Hal itu disampaikan Choe setelah Guterres bergabung dengan kecaman pimpinan AS atas uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) Korea Utara baru-baru ini.
Guterres sebelumnya mengeluarkan pernyataan yang mengutuk keras peluncuran ICBM Korea Utara pada Jumat (18/11/2022).
Dalam pernyataannya, Guterres meminta Korea Utara untuk segera berhenti mengambil tindakan provokatif lebih lanjut.
Pernyataan Guterres muncul setelah AS dan negara-negara lain mengeluarkan kritik serupa terhadap uji coba rudal ICBM Korea Utara yang menunjukkan potensi untuk menyerang di mana saja di benua AS.
Lebih lanjut, Choe menilai sikap Guterres sangat tercela karena tidak menjaga ketidakberpihakan, objektivitas, dan kesetaraan dalam segala hal.
Baca juga: Rudal Monster Baru Korea Utara Hwasong-17, Bersenjata Nuklir Hingga Bisa Menempuh Jarak 15 Ribu Km
"Saya sering menganggap sekretaris jenderal PBB sebagai anggota Gedung Putih AS atau Departemen Luar Negerinya," kata Choe dalam pernyataan yang disiarkan oleh media pemerintah.
"Saya menyatakan penyesalan yang mendalam atas fakta bahwa Sekjen PBB telah mengambil sikap yang sangat tercela, mengabaikan tujuan dan prinsip Piagam PBB dan misinya yang tepat yaitu menjaga ketidakberpihakan, objektivitas, dan kesetaraan dalam segala hal."
Choe menuduh Guterres mengabaikan AS dan sekutunya yang membawa uji coba rudal ICBM Korea Utara ke Dewan Keamanan PBB.
"Ini jelas membuktikan bahwa dia adalah boneka AS," kata Choe sebagaimana dikutip AP News.
Dewan Keamanan PBB menjadwalkan pertemuan darurat pada Senin pagi terkait peluncuran ICBM Korea Utara atas permintaan Jepang.
Tetapi tidak jelas apakah itu dapat menjatuhkan sanksi ekonomi baru pada Korea Utara karena China dan Rusia, dua anggota dewan pemegang hak veto, telah menentang langkah AS sebelumnya dan sekutunya untuk memperketat sanksi terhadap Korea Utara atas uji coba rudal balistik yang dilarang awal tahun ini.
Pada hari Minggu, para diplomat top dari negara-negara industri demokrasi utama dunia mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan langkah tegas oleh Dewan Keamanan PBB sebagai reaksi atas peluncuran rudal Korea Utara.
"Tindakan (Korea Utara) menuntut tanggapan yang bersatu dan kuat dari komunitas internasional, termasuk perlunya tindakan signifikan lebih lanjut yang harus diambil oleh Dewan Keamanan PBB,” kata pernyataan menteri luar negeri dari negara-negara Kelompok Tujuh (G7), Kanada, Prancis , Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS.
Peluncuran rudal ICBM pada hari Jumat adalah yang terbaru dalam uji coba rudal Korea Utara yang sedang berlangsung yang menurut para ahli dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan nuklirnya dan meningkatkan pengaruhnya dalam diplomasi masa depan.
Korea Utara mengatakan pemimpin Kim Jong Un mengamati peluncuran rudal Hwasong-17 pada hari Jumat.
Kim Jong Un menyebut rudal ICBM sebagai sebagai senjata dapat diandalkan dan berkapasitas maksimum untuk menahan ancaman militer AS.
Beberapa ahli mengatakan Hwasong-17 masih dalam pengembangan tetapi itu adalah rudal jarak jauh Korea Utara dan dirancang untuk membawa beberapa hulu ledak nuklir untuk mengatasi sistem pertahanan rudal AS.
Korea Utara berpendapat kegiatan pengujiannya merupakan peringatan bagi AS dan Korea Selatan atas serangkaian latihan militer mereka yang diyakini Korea Utara sebagai latihan invasi.
Washington dan Seoul mempertahankan latihan mereka bersifat defensif.
Dalam pernyataannya hari Senin, Choe kembali membela uji coba misil negaranya, menyebut uji coba itu sah dan hanya menggunakan hak untuk membela diri melawan latihan perang nuklir yang provokatif oleh AS dan sekutunya.
"Itu paling menakjubkan dan menyedihkan bagi saya karena Guterres masih menyalahkan Korea Utara atas gejolak ketegangan baru-baru ini di Semenanjung Korea, bukan Amerika Serikat," kata Choe.
Sehari sebelum uji coba rudal ICBM negaranya, Choe mengancam akan melancarkan tanggapan militer yang "lebih ganas" terhadap langkah-langkah AS untuk meningkatkan komitmen keamanannya terhadap Korea Selatan dan Jepang.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)