TRIBUNNEWS.COM, DOHA - Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menyetujui kesepakatan senjata yang telah lama tertunda dengan Qatar.
Washington akan segera mengirimkan sekutu Timur Tengah itu dengan kendaraan udara tak berawak (UAV) MQ-9 Predator senilai $1 miliar.
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan lampu hijau untuk kesepakatan pada Rabu (30/11/2022) dini hari WIB.
Pengumuman bertepatan saat tim sepakbola AS dan Iran memulai paruh kedua pertandingan sepak bola Piala Dunia mereka di Doha.
Penjualan tersebut mencakup 10 sistem drone canggih, 200 pencegat drone, dan peralatan tempur terkait.
Baca juga: Turki Tuduh AS Gertak Arab Saudi atas Pemotongan Minyak OPEC+
Baca juga: OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Benarkah Kini Arab Saudi Lebih Memihak Rusia daripada AS?
Baca juga: Anggota OPEC Plus Sepakat Dukung Pengurangan Produksi Minyak di Tengah Ketegangan AS-Arab Saudi
Qatar merupakan sekutu terpenting AS di Timur Tengah. Pentagon mengoperasikan pangkalan militer terbesarnya di kawasan itu, mencakup operasi tempur di Timteng dan Afghanistan.
Qatar telah lama mengajukan permintaan untuk pembelian UAV, termasuk drone tempur MQ-9 Predator, pada 2020.
Tapi terus ditunda walaupun Qatar begitu banyak membantu militer AS. Qatar jadi lokasi transit dan penampungan ribuan pengungsi Afghanistan saat pasukan AS menarik diri dari negara itu.
Doha juga membantu meredakan kekacauan penarikan AS dari Afghanistan tahun lalu, tapi pembelian senjata itu belum juga ada perkembangan.
Pemerintahan Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani terus berjuang untuk mendapatkan jawaban yang jelas dari pemerintahan Biden tentang apa yang menghambat transaksi UAV.
Pentagon mendorong persetujuan penjualan, mengutip keandalan Qatar sebagai mitra tepercaya, tetapi pejabat Departemen Luar Negeri khawatir negara-negara lain di kawasan itu, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, akan marah.
Menurut laporan media tahun lalu. Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan dengan Qatar pada 2017, menuduh negara itu mendukung kelompok teroris.
Qatar secara politik membuka diri bagi tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang mendorong Arab Spring dan mengkhawatirkan penguasa-penguasa kerajaan di jazirah Arab.
AS berselisih dengan Arab Saudi tahun ini, setelah Riyadh diduga mengingkari kesepakatan rahasia untuk meningkatkan pasokan minyak menjelang pemilihan kongres paruh waktu bulan ini.
Biden menanggapinya dengan berjanji untuk mengevaluasi kembali hubungan AS-Saudi, dengan mengatakan, akan ada konsekuensinya.
Riyadh dalam berbagai kesempatan kerap mengungkapkan kecenderungan untuk semaki menjauh dari Washisngton.
Saudi berusaha mengurangi ketergantungan ke AS dan sekutu baratnya, dan mulai melirik China, Rusia, dan bahkan ingin bergabung ke blok ekonomi baru BRICS.
Dipimpin Arab Saudi, kelompok produsen minyak utama OPEC telah memutuskan untuk memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari.
Presiden AS Joe Biden sebelumnya telah mendorong untuk meningkatkan produksi guna menurunkan harga dan mengguncang keuangan Rusia, yang bergantung pada ekspor minyak.
“AS pasti menganggap ini sebagai penghinaan,” kata Amrita Sen, salah satu pendiri Energy Aspects, sebuah konsultan energi. “Ada banyak kemarahan terhadap Arab Saudi saat ini.”
Tetapi karena kekhawatiran akan resesi global tumbuh, para ahli mengatakan Arab Saudi juga memiliki alasan untuk mengamankan pendapatan ekonominya.
Produsen minyak juga bingung oleh dorongan Washington untuk membatasi harga minyak Rusia, yang bisa merusak pasar minyak dunia.
Di Washington, keputusan OPEC+ dan sikap Saudi inilah yang memicu tekanan bagi Biden untuk menghentikan penjualan senjata ke Riyadh.
Senator Bob Menendez mendesaknya untuk segera membekukan semua aspek kerja sama AS dengan Arab Saudi.
Gejolak semacam itu telah lama mengguncang hubungan AS-Saudi. Pada April 2020, Keith Johnson dan Robbie Gramer dari Foreign Policy mencatat hubungan sulit kedua negara ini.
Menurut mereka, ketegangan umumnya berpangkal pada urusan minyak dan keamanan. Ada kesenjangan lebar antara demokrasi liberal (AS) dan monarki agama konservatif (Saudi).
Penjualan drone ke Qatar akan mendukung kebijakan luar negeri dan tujuan keamanan nasional AS dengan membantu meningkatkan keamanan negara sahabat.
“Ini akan terus menjadi kekuatan penting bagi stabilitas politik dan kemajuan ekonomi di Timur Tengah,” kata Departemen Luar Negeridalam sebuah pernyataan.
Pasokan senjata baru itu akan meningkatkan kemampuan Qatar untuk menghadapi ancaman saat ini dan masa depan dengan memberikan kemampuan mengoperasikan pesawat tak berawak.
Drone yang dipasok AS akan membantu Qatar memantau infrastruktur gas alamnya yang luas dan mencegah serangan teroris.
Doha sejak lama ingin menyelesaikan pembelian tepat waktu terkait pengamanan penyelenggaraan Piala Dunia yang sedang berlangsung saat ini.(Tribunnews.com/RussiaToday/ForeignPolicy/xna)