TRIBUNNEWS.COM - Pihak berwenang kota Guangzhou, China melonggarkan pembatasan Covid sehari setelah para demonstran bentrok dengan polisi di tengah serangkain protes terhadap kebijakan nol-Covid.
Seperti diketahui, China memberlakukan lockdown, pembatasan ketat, dan pengujian massal sebagai bagian dari kebijakan nol-Covidnya.
Kebijakan nol-Covid China telah menimbulkan kemarahan penduduknya sementara pembatasan Covid-19 di sebagian besar dunia mulai dilonggarkan.
Dilansir Al Jazeera, demonstrasi yang menyebar ke Shanghai, Beijing, dan tempat lain menjadi kerusuhan yang belum pernah terjadi selama Presiden Xi Jinjing berkuasa sejak 2012.
Kota Chongqing di barat daya akan mengizinkan kontak dekat orang dengan Covid-19, yang memenuhi persyaratan tertentu, untuk dikarantina di rumah, kata seorang pejabat kota, Rabu (30/11/2022).
Tetapi, dengan rekor jumlah kasus secara nasional, tampaknya hanya ada sedikit prospek perubahan besar dalam kebijakan "nol-Covid" yang menurut Presiden Xi telah menyelamatkan nyawa.
Baca juga: Polisi China Ambil Sikap, Buru Pendemo yang Tolak Kebijakan Nol-Covid
Protes nol-Covid Guangzhou berubah jadi kekerasan
Patrick Fok dari Al Jazeera, mengatakan protes telah berubah menjadi kekerasan di Guangzhou, yang telah terpukul oleh gelombang infeksi baru-baru ini.
“Kerusuhan menandai eskalasi gerakan yang menyebar ke beberapa kota besar,” kata Fok.
“Perkembangan terbaru datang meskipun ada peringatan keras untuk tidak ikut serta dalam demonstrasi,” lanjutnya.
Fok menambahkan, badan keamanan utama China menyerukan tindakan keras terhadap apa yang dikatakannya sebagai “pasukan musuh”.
Namun, tidak jelas siapa atau apa yang dimaksud pemerintah, kata Fok.
Penguncian telah memukul ekonomi, mengganggu rantai pasokan global, dan mengguncang pasar keuangan.
Baca juga: Latar Belakang Demonstrasi Kebijakan nol-Covid China, Berawal dari Kebakaran yang Tewaskan 10 Orang
Industri manufaktur China
Aktivitas manufaktur dan jasa atau manufacturing purchasing managers index (PMI) di China untuk bulan November dilaporkan telah menyusut menjadi 48,0.
Menurut Biro Statistik Nasional (NBS) jumlah tersebut anjlok drastis bila dibandingkan proyeksi di awal bulan kemarin, dimana para ekonomi mematok PMI di level 49,0.
Penyusutan ini lantas membuat indeks penjualan manufaktur China turun ke posisi terendah sejak tujuh bulan terakhir.
Kontraksi ini terjadi imbas pengetatan kebijakan lockdown Covid yang diberlakukan rezim Xi Jinping, pembatasan Covid awalnya dimaksudkan untuk memutus rantai penyebaran pasien positif Covid.
Akan tetapi kebijakan ini justru makin menekan sektor perekonomian hingga membuat warga China mulai membatasi aktivitas konsumsinya.
Baca juga: Amerika Kritik Strategi Nol Covid-19 China, Sebut Beijing Perlu Tingkatkan Vaksinasi Kalangan Lansia
Kondisi ini kian diperparah dengan adanya penyusutan pendapatan di sektor jasa, akibat protes sipil di beberapa kota besar yang memprotes kebijakan nol-Covid yang ketat dari pemerintah.
Rangkaian tekanan ini yang kemudian membuat bisnis di negara tirai bambu melambat secara keseluruhan, termasuk di dalam industri manufaktur.
Apabila pelemahan ini terus terjadi, tak hanya China saja yang akan mencatatkan kerugian, supply chain global juga akan ikut terseret mundur.
Mengingat China sendiri merupakan negara tujuan ekspor terbesar bagi 33 negara di dunia serta sumber impor terbesar bagi 65 negara.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)