CIA terang-terangan menyebutkan pangeran itu terlibat langsung pembunuhan jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi, di Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018.
Itulah mengapa Joe Biden sengaja memilih untuk tidak menghubungi sang pangeran setelah ia terpilih sebagai Presiden AS.
Biden bersikeras hanya berbicara dengan Raja Salman, dengan syarat putranya tidak mendengarkan atau bergabung dalam diskusi.
Biden juga menghapus Houthi di Yaman dari daftar kelompok teroris, yang semakin membuat marah Pangeran MBS, yang menanggapinya dengan mendekatkan diri ke Rusia dan China.
Pemimpin Saudi itu kemudian menolak meningkatkan produksi minyak ketika diminta oleh AS untuk melakukannya.
Maksud AS, peningkatan produksi minyak itu akan jadi alternatif untuk minyak dan gas Rusia setelah serangan Moskow ke Ukraina.
Beberapa media global melaporkan Pangeran MBS menolak menerima telepon dari Biden yang diatur oleh Gedung Putih.
Menurut Wall Street Journal, pangeran muda itu sampai meneriaki Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, selama percakapannya.
Lebih-lebih ketika nama Khashoggi disebutkan. Pangeran menunjukkan dia tidak ingin membahas masalah itu lagi.
Pangeran MBS mengatakan AS dapat melupakan permintaannya untuk menggandakan produksi minyak.
Posisi kuat Pangeran MBS ini mendorong Joe Biden mengunjungi Riyadh, dan memaksanya bersikap lebih lunak dari sumpahnya di awal yang ingin menjadikan Saudi sebagai negara pariah.
Kunjungan itu merupakan perubahan strategis yang membuat AS kembali menaruh minat di Timur Tengah setelah Washington mengatakan ingin pergi dan dan melihat ke Timur Jauh.
Ini adalah salah satu dampak geostrategis dari perang Rusia-Ukraina dan ancaman terhadap keamanan dan energi di Eropa.
"Kami tidak akan pergi begitu saja dan meninggalkan kekosongan untuk diisi oleh China, Rusia atau Iran," jelas Biden dalam kunjungannya ke Jeddah.