TRIBUNNEWS.COM - Ratusan keluarga di Aghanistan tertipu rumor palsu yang menyebut Turki sedang mencari relawan untuk korban gempa.
Video beredar di media sosial memperlihatkan kerumunan orang berdesak-desakan menuju Bandara Kabul, Rabu (9/2/2023) malam.
Beberapa orang terlihat berlari memasuki bandara, sementara lainnya memadati lalu lintas dengan kendaraan mereka, Independent melaporkan.
“Kerumunan orang berkumpul di malam Bandara Kabul setelah mendengar desas-desus bahwa kedutaan Turki berencana untuk menerbangkan warga Afghanistan untuk membantu pekerjaan bantuan setelah gempa mematikan di Turki,” tulis wartawan lokal Saeedullah Safi di Twitter.
Mengutip saksi mata, Safi mengatakan sekelompok besar orang berhasil masuk ke bandara dan ke landasan, dengan harapan penerbangan pesawat akan membawa mereka ke luar negeri.
“Saya mendengar Turki membutuhkan orang, jadi saya pikir saya bisa pergi dan membantu orang yang membutuhkan,” kata Abdul Ghafar.
Baca juga: 5 Fakta Bom Bunuh Diri di Masjid Pakistan Tewaskan 100 Orang, Sasar Polisi dan Pelaku Diduga Taliban
Ia adalah warga Kabul berusia 26 tahun, yang termasuk di antara ratusan orang yang bergegas ke bandara pada hari Rabu.
“Ini bisa menjadi kesempatan bagi saya untuk mencari jalan keluar dari negara ini,” tambahnya.
Ia kemudian diberitahu oleh pasukan Taliban bahwa tidak ada penerbangan yang berangkat ke Turki.
Ghafar telah menunggu dalam cuaca dingin selama tiga jam, bersama ratusan warga Afghanistan lainnya, di dekat bandara.
Kepala polisi Kabul Khalid Zadran mengatakan tidak ada penerbangan seperti itu.
Situasi tersebut mencerminkan bagaimana warga Afghanistan masih berusaha melarikan diri dari cengkeraman Taliban.
Sudah hampir 18 bulan sejak kelompok militan itu mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan AS.
Pada tahun 2021, warga Afghanistan tidur di landasan bandara dan bahkan berpegangan pada roda pesawat dengan harapan bisa diangkut ke luar negeri.
Beberapa menyebut aturan Islam garis keras Taliban dan situasi hak-hak perempuan dan anak perempuan yang dibatasi, membuat warga ingin meninggalkan negara itu.
Taliban tidak menepati janjinya untuk membangun pemerintahan yang lebih liberal.
Taliban mengekang kebebasan sipil minoritas gender di tengah krisis ekonomi yang memburuk.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)